20111126

bila letih ku datang

Tuhanku yang amat aku cintai,
lihatlah wajahku yang letih ini ...
yang telah berupaya menuruti
tuntunanMu
untuk bekerja keras dalam
kejujuran,
untuk kebaikan hidupku dan
kebahagiaan keluargaku,
tapi ...
yang belum dihargai dengan baik
oleh sesamaku ...
Aku yang dicari saat aku tak ada,
tapi yang diabaikan saat aku ada,
yang diperintah tanpa mengukur
kekuatanku,
yang dimarahi tanpa perduli
hatiku pun bisa sakit,
yang disebut namaku hanya
dalam kemarahan,
yang dihargai seperti aku lebih
murah dari perabot rumah
mereka.
Tapi itu semua bukan salahMu.
Ini pasti karena aku belum
cukup memampukan diriku.
Besok, aku akan mencoba lebih
berani lagi,
berupaya lebih bertenaga lagi,
dan bertahan lebih sabar lagi.
Besok, aku akan memperpanjang
setiap menitku
dengan doa dan kerja keras,
akan kuperindah setiap menitku
dengan kesyukuran,
dan akan kujadikan setiap
menitku bernilai,
karena aku khawatir waktuku
akan habis
sebelum aku sepenuhnya
mampu membahagiakan
ibu dan ayahku, kekasih hatiku,
dan mereka yang kucintai dan
yang mencintaiku.
Tuhan ... biarkanlah aku
menangis sebentar,
dan jika nanti aku terlelap dalam
isakku,
lepaskanlah letih dari ototku,
bersihkanlah pikiranku dari
bebannya,
usirlah momok dari hatiku,
dan haluskanlah jalan nafasku.
Tuhan, sayangilah aku,
selamatkan dan
sejahterakankah kekasih kecilMu
yang letih ini.

Aamiin


_mt_

20111022

do'a & harap

Tuhanku Yang Maha Penyayang,
Lihatlah wajahku yang berpendar
dengan kerinduan bagi jiwa baik
yang akan kucintai dan yang
mencintaiku dengan jujur dan
setia.
Mudah-mudahan Engkau
merasa kasihan melihatku
berjalan di lorong-lorong sepi
impian dan kerinduan hatiku,
bergandengan tangan dengan
diriku sendiri.
Janganlah Kau biarkan aku lama
sendiri, menseri-serikan wajah
dalam harapan cinta, dan
menceriakan senyum dan
tawaku yang berpura-pura telah
ditemukan oleh dia yang juga
merindukan cintaku.
Tuhan, apakah tangisku ini indah
bagi-Mu?
Jika Engkau memang lebih
menyukai kedekatan dan
kemanjaanku karena kepiluan
dari kesendirian ini, maka aku
akan belajar ikhlas menangis
sepanjang hidupku. Dan semoga,
Engkau mencukupkan air
mataku dan menguatkan serat-
serat dinding dadaku.
Tapi Engkau adalah Tuhanku
Yang Maha Lembut,
Aku yakin sekali bahwa Engkau
tak akan sampai hati
membiarkan jiwa kecil yang
selalu berusaha patuh kepada-
Mu ini, lama bersedih
menantikan belahan jiwa yang
sesungguhnya telah Kau siapkan
bagi pemuliaan hidupku.
Engkau Yang Maha Cinta,
Aku mencintai-Mu, dan bernafas
dalam keyakinan bahwa Engkau
sangat mencintaiku, maka …
Pelan-pelan dan dengan
rambatan yang pasti, mulai
besok pagi, damaikanlah hatiku,
gerakkanlah tangan, kaki, dan
tubuhku dalam ketukan nada
tarian lembut yang menandakan
bahwa jiwaku dalam perjalanan
untuk Kau temukan dengan dia
yang telah lama kudengar suara
anggunnya dalam mimpi-
mimpiku.
Engkau Yang Maha Lembut,
Satukanlah aku dengan belahan
jiwaku, dalam pernikahan yang
damai, yang mesra dan setia,
yang saling memuliakan, yang
Kau anugrahi dengan keturunan
yang berpekerti luhur, dan yang
Kau kayakan dengan kesehatan,
nama baik, dan kesejahteraan.

Aamiin...

20110908

SHALAT (2)

_.Oleh Nurcholish Madjid._
Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat juga
mengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benar
juga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagai
proses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakan
metafor "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengan
sendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalam
sistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergerak
secara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidak
diterima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeri
atau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena ia
toh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkan
negeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luas
ini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kita
kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuk
tidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi
yang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karena
merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandung
makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan
itu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatu
kesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akan
menyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya
kita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak.
Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu
dari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak,
sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final
itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Dan
manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa paham
Tauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final
(al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatu
apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yang
semisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengan
sesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkin
terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalam
Kitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhan
selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia;
Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidak
menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah
Maha Lembut, Maha Teliti." [21]
Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah,
yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinya
menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kita
panjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan
yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan
syahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan
permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagai
kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah")
kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalat
kita.
M AKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM)
Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya
sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri,
khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan
berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui
tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut
bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai
sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri.
Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangat
logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga.
Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan
menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka
tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak
pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada
dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu
merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam
kata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan
keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi
pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah
makna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidak
menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen"
akan sia-sia belaka.
Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak
dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada
engkau (hai Muham mad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dan
keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung
(pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian
kerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa
salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah
bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat
jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari
kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui
shalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai hal
yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan
yang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian
yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang
lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama?
Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas
menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka
celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat
mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalat
seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan
sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh
santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan
nasib orang miskin.
Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi
luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan
salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa
untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,
baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan
sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan
begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan
Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan
sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak
menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan
menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat
palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya
peringatan dalam firman itu.
Dalam kaitannya dengan firman itu Muham mad Mahmud al-Shawwaf
menguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentuk
ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan
manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha
Agung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmah
rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia
yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu
menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.
Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih
hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena
manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka
diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena
itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam
pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.
Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dan
keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan.
Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut
ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentuk
manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan
sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.
Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban
yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah
memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninya
saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak
dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan
menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil
tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita
dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang
kotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnya
manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia
banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak
mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25]
Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani
shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan
tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah
rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia
berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan
budi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang
shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka
yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26]
Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena mereka
mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai
lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa
yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya,
dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan
keluhuran kebaikan-Nya.
Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama,
pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat
dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau
persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu
perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa
memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta
faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang
sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.
Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh
amat disayangkan! [27]
Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama
dari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat.
Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam
tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:
Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya
Kecuali golongan yang beruntung (kanan)
Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,
tentang nasib orang-orang yang berdosa:
"Apa yang membawa kamu ke neraka?"
Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk
orang-orang yang shalat,
Dan tidak pula kami pernah
memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena
Dan kami dustakan adanya hari pembalasan
Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28]
Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk
neraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yang
menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup
ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab
sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan
tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup
egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya,
juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun
lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari
pembalasan (akhirat).
Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selain
menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita--
ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah
ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya
masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan
melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh
warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham
mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat,
sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras
kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang
kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan
komitmen sosial yang meluas.
CATATAN
1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu
mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS.
al-Mu'minun 23:1-2).
2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muham mad Mahmud al-Shawwaf,
Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li
al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9.
3. Ibid.,hal. 13
4. Ibid., hal. 24
5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi
dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan
(yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan
sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari
praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS.
al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana
pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia
"menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83).
6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa
perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan
serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi
Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari
"wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama
dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min
al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah).
(Lihat QS. al-An'am/6:161-162).
7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254.
8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak
dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan
Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi
saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab,
"Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah
engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau."
9. QS. al-Hadid 57:4
10. QS. Thaha 20:14.
11. QS. al-Baqarah/2:156.
12. QS. al-A'raf/7:65.
13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah
agar kita mempelajari sejarah dan mengambil pelajaran
daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali
'Imran/3:137.
14. QS. al-Nisa'/4:103.
15. QS. al-Baqarah/2:238.
16. QS. al-Insyirah/94:7-8.
17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan
dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam,
yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang
kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode).
18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97.
19. QS. al-Ikhlash/112:4.
20. QS. al-Syura/42:11.
21. QS. al-An'am/6: 102-3.
22. QS. al-Ankabut/29:45.
23. QS. al-Ma'un/107:1-~.
24. QS. al-Ankabut/29:45.
25. QS. al-Ma'arij/70:19-22.
26. QS. al-Ma'un/107:
27. Muham mad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin
(Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968
M). h. 55-57.
28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

SHALAT (1)

_.Oleh Nurcholish Madjid._
Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci dan Hadits
Nabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban
peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem
keagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita
menegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannya
dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan
kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yang
dilakukan dengan penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi
saw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkan
tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika
baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka
rusak pulalah seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi,
"Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada
Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya
ialah perjuangan di jalan Allah." [3]
Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang
pentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumber
agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik
mungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan
ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau
sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalam
shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup
kita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperoleh
pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai
hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa
shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai
tujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagai
sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.
Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,
dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsur
bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat
dirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya
dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang
dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim
(al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan
runtutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agama
Islam." [4]
Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat
al-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan",
yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang
tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap
Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formal
seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a
'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua
bentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas -
"hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkan
dalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan
hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika
disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah
agar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolik
terpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengan
takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap
menghadap Allah.
Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan
dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaan
yang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada
Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara
hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi
muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu),
dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]
Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma
baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam
raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan
aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]
Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan
hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan
melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir
pembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyang
dipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup),
karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal
sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari
pembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan,
perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]
Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknya
menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang
makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh
keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia
menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu
sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya";
dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi
sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan
makna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.
[8] Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga
sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi
dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di
Sidrat al-Muntaha.
Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salah
satu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafan
diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan
dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:
"Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, dan
Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]
Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memelihara
hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya
akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah
kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:
"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka
sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk
mengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berarti
kelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah juga
berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidup
di dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari
Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11] Maka dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah
"Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan
"Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).
Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentu
akan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekerti
sedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allah
dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).
Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupun
logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu
yang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti
yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialah
yang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang
asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani,
bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan
pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia
menuju kebenaran (hanif).
Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnya
baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalu
mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya
dengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak nampak
padanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs,
kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagai
akibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena
itu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebut
mutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu
sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari
dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu.
Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca surat
al-Fatihah --yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadat
itu-- kandungan makna surat itu yang terutama harus dihayati
benar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkan
jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itu
setelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatan
dirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah),
diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nya
sebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang Maha
Pengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha
Penyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim).
Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagai
Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdiri
mutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim,
dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghamba
kecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanya
kepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadari
bahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk
menemukan kebenaran.
Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan diri
kecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanya
kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakan
oleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusaha
mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arah
jalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa
kita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatu
apapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasan
pretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran.
Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar
itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allah
bahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat
yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita
tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan
oleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri dari
kungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu
merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu
merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah
kamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnya
rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted,"
termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalam
hidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkin
malah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita
miliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali.
Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidak
begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapan
yang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diri
yan mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada
waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya
ia menempuh jalan yang keliru.
Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya"
tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun, menurut Ibn
Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang
tidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yang
mendapatkan murka dari Allah.
Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah
ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia
kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka,
dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga
mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari
sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]
Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat merupakan kewajiban
"berwaktu" atas kaum beriman. [14] Yaitu, diwajibkan pada
waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (Subuh),
diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),
lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnya
di malam hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu itu
ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,
kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,
lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah bekerja (dari
Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya
dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi
lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan
dan kealpaan. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita
menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar,
[15] dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja keras
mendekati Tuhan.[16]
-------------------------------------------- (bersambung 2/2)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

20110812

NABI MUHAMMAD SAW (bagian 3)

Beliau adalah manusia seperti manusia yang lain dalam naluri,
fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan dalam sifat-sifat
dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan Tuhan dan
kedudukan istimewa di sisi-Nya, sedang yang lain tidak
demikian. Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama
jenisnya dengan batu yang di jalan, tetapi ia memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain. Dalam
bahasa tafsir Al-Quran, "Yang sama dengan manusia lain adalah
basyariyah bukan pada insaniyah." Perhatikan bunyi firman
tadi: basyarun mitslukum bukan insan mitslukum.
Atas dasar sifat-sifat yang agung dan menyeluruh itu, Allah
Swt. menjadikan beliau sebagai teladan yang baik sekaligus
sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan)
"Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi
yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari
kemudian." (QS Al-Ahzab [33]: 2l).
Keteladanan tersebut dapat dilakukan oleh setiap manusia,
karena beliau telah memiliki segala sifat terpuji yang dapat
dimiliki oleh manusia
Dalam konteks ini, Abbas Al-Aqqad, seorang pakar Muslim
kontemporer menguraikan bahwa manusia dapat diklasifikasikan
ke dalam empat tipe: seniman, pemikir, pekerta, dan yang tekun
beribadah.
Sejarah hidup Nabi Muhammad Saw. membuktikan bahwa beliau
menghimpun dan mencapai puncak keempat macam manusia tersebut.
Karya-karyanya, ibadahnya, seni bahasa yang dikuasainya, serta
pemikiran-pemikirannya sungguh mengagumkan setiap orang yang
bersikap objektif. Karena itu pula seorang Muslim akan kagum
berganda kepada beliau, sekali pada saat memandangnya melalui
kacamata ilmu dan kemanusiaan, dan kedua kali pada saat
memandangnya dengan kacamata iman dan agama.
Banyak fungsi yang ditetapkan Allah bagi Nabi Muhammad Saw.,
antara lain sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan) (QS Al-Fath [48]: 8), yang pada akhirnya bermuara
pada penyebarluasan rahmat bagi alam semesta.
Di sini fungsi beliau sebagai syahid/syahid akan dijelaskan
agak mendalam.
Demikian itulah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu
menjadi saksi terhadap manusia, dan agar Rasul (Muhammad Saw.)
menjadi saksi terhadap kamu ... (QS Al-Baqarah [2]: 143)
Kata syahid/syahid antara lain berarti "menyaksikan," baik
dengan pandangan mata maupun dengan pandangan hati
(pengetahuan). Ayat itu menjelaskan keberadaan umat Islam pada
posisi tengah, agar mereka tidak hanyut pada pengaruh
kebendaan, tidak pula mengantarkannya membubung tinggi ke alam
ruhani sehingga tidak berpijak lagi di bumi. Mereka berada di
antara keduanya (posisi tengah), sehingga mereka dapat menjadi
saksi dalam arti patron/teladan dan skala kebenaran bagi
umat-umat yang lain, sedangkan Rasulullah Saw. yang juga
berkedudukan sebagai syahid (saksi) adalah patron dan teladan
bagi umat Islam. Kendati ada juga yang berpendapat bahwa kata
tersebut berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. akan menjadi saksi
di hari kemudian terhadap umatnya dan umat-umat terdahulu,
seperti bunyi firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa' (4):
41:
Maka bagaimanakah halnya orang-orang kafir nanti apabila Kami
menghadirkan seorang saksi dari tiap-tiap umat dan Kami
hadirkan pula engkau (hai Muham mad) sebagai saksi atas mereka
(QS Al-Nisa, [4]: 41).
Tingkat syahadat (persaksian) hanya diraih oleh mereka yang
menelusuri jalan lurus (shirath al-mustaqim), sehingga mereka
mampu menyaksikan yang tersirat di balik yang tersurat. Mereka
yang menurut Ibnu Sina disebut "orang yang arif," mampu
memandang rahasia Tuhan yang terbentang melalu qudrat-Nya.
Tokoh dari segala saksi adalah Rasulullah Muhammad Saw. yang
secara tegas di dalam ayat ini dinyatakan "diutus untuk
menjadi syahid (saksi)."
Sikap Allah Swt. terhadap Nabi Muham mad Saw.
Dari penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa
para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. telah diseru oleh Allah
dengan nama-nama mereka; Ya Adam..., Ya Musa..., Ya Isa...,
dan sebagainya. Tetapi terhadap Nabi Muhammad Saw., Allah Swt.
sering memanggilnya dengan panggilan kemuliaan, seperti Ya
ayyuhan Nabi..., Ya ayyuhar Rasul..., atau memanggilnya dengan
panggilan-panggilan mesra, seperti Ya ayyuhal muddatstsir,
atau ya ayyuhal muzzam mil (wahai orang yang berselimut). Kalau
pun ada ayat yang menyebut namanya, nama tersebut dibarengi
dengan gelar kehormatan. Perhatikan firman-Nya dalam surat
Ali-'Imran (3): 144, Al-Ahzab (33): 40, Al-Fat-h (48): 29, dan
Al-Shaff (61): 6.
Dalam konteks ini dapat dimengerti mengapa Al-Quran berpesan
kepada kaum mukmin.
"Janganlah kamu menjadikan panggilan kepada Rasul di antara
kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang
lain... (QS Al-Nur [24]: 63).
Sikap Allah kepada Rasul Saw. dapat juga dilihat dengan
membandingkan sikap-Nya terhadap Musa a.s.
Nabi Musa a.s. bermohon agar Allah menganugerahkan kepadanya
kelapangan dada, serta memohon agar Allah memudahkan segala
persoalannya.
"Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah untukku
urusanku (QS Thaha [20]: 25-26).
Sedangkan Nabi Muhammad Saw. memperoleh anugerah kelapangan
dada tanpa mengajukan permohonan. Perhatikan firman Allah
dalam surat Alam Nasyrah, Bukankah Kami telah melapangkan
dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1).
Dapat diambil kesimpulan bahwa yang diberi tanpa bermohon
tentunya lebih dicintai daripada yang bermohon, baik
permohonannya dikabulkan, lebih-lebih yang tidak.
Permohonan Nabi Musa a.s. adalah agar urusannya dipermudah,
sedangkan Nabi Muhammad Saw. bukan sekadar urusan yang
dimudahkan Tuhan, melainkan beliau sendiri yang dianugerahi
kemudahan. Sehingga betapapun sulitnya persoalan yang dihadapi
-dengan pertolongan Allah-beliau akan mampu menyelesaikannya.
Mengapa demikian? Karena Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad
dalam surat Al-A'la (87): 8:
"Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah."
Mungkin saja urusan telah mudah, namun seseorang, karena satu
dan lain sebab-tidak mampu menghadapinya. Tetapi jika yang
bersangkutan telah memperoleh kemudahan, walaupun sulit urusan
tetap akan terselesaikan.
Keistimewaan yang dimiliki beliau tidak berhenti di sana saja.
Juga dengan keistimewaan kedua, yaitu "jalan yang beliau
tempuh selalu dimudahkan Tuhan" sebagaimana tersurat dalam
firman Allah, "Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah."
(QS Al-A'la [87]: 8).
Dari sini jelas bahwa apa yang diperoleh oleh Nabi Muhammad
Saw. melebihi apa yang diperoleh oleh Nabi Musa a.s., karena
beliau tanpa bermohon pun memperoleh kemudahan berganda,
sedangkan Nabi Musa a.s. baru memperoleh anugerah "kemudahan
urusan" setelah mengajukan permohonannya.
Itu bukan berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. dimanjakan oleh
Allah, sehingga beliau tidak akan ditegur apabila melakukan
sesuatu yang kurang wajar sebagai manusia pilihan.
Dari Al-Quran ditemukan sekian banyak teguran-teguran Allah
kepada beliau, dari yang sangat tegas hingga yang lemah lembut
Perhatikan teguran firman Allah ketika beliau memberi izin
kepada beberapa orang munafik untuk tidak ikut berperang.
"Allah telah memaafkan kamu. Mengapa engkau mengizinkan
mereka? (Seharusnya izin itu engkau berikan) setelah terbukti
bagimu siapa yang berbohong dalam alasannya, dan siapa pula
yang berkata benar (QS Al-Tawbah [9]: 43)
Dalam ayat tersebut Allah mendahulukan penegasan bahwa beliau
telah dimaafkan, baru kemudian disebutkan "kekeliruannya."
Teguran keras baru akan diberikan kepada beliau terhadap
ucapan yang mengesankan bahwa beliau mengetahui secara pasti
orang yang diampuni Allah, dan yang akan disiksa-Nya, maupun
ketika beliau merasa dapat menetapkan siapa yang berhak
disiksa.
"Engkau tidak mempunyai sedikit urusan pun. (Apakah) Allah
menerima tobat mereka atau menyiksa mereka (QS Ali 'Imran [3]:
128).
Perhatikan teguran Allah dalam surat 'Abasa ayat 1-2 kepada
Nabi Muham mad Saw., yang tidak mau melayani orang buta yang
datang meminta untuk belajar pada saat Nabi Saw. sedang
melakukan pembicaraan dengan tokoh-tokoh kaum musyrik di
Makkah
"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah
datang seorang buta kepadanya..."
Teguran ini dikemukakan dengan rangkaian sepuluh ayat, dan
diakhiri dengan:
"Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran
Allah adalah suatu peringatan" (QS 'Abasa [80]: 11).
Nabi berpaling dan sekadar bermuka masam ketika seseorang
mengganggu konsentrasi dan pembicaraan serius pada saat rapat;
hakikatnya dapat dinilai sudah sangat baik bila dikerjakan
oleh manusia biasa. Namun karena Muham mad Saw. adalah manusia
pilihan, sikap dernikian itu dinilai kurang tepat, yang dalam
istilah Al-Quran disebut zanb (dosa).
Dalam hal ini ulama memperkenalkan kaidah: Hasanat al-abrar,
sayyiat al-muqarrabin, yang berarti "kebajikan-kebajikan yang
dilakukan oleh orang-orang baik, (dapat dinilai sebagai) dosa
(bila diperbuat oleh) orang-orang yang dekat kepada Tuhan."
--oo0oo--
Disadari sepenuhnya bahwa uraian tentang Nabi Muhammad Saw.
amat panjang, yang dapat diperoleh secara tersirat maupun
tersurat dalam Al-Quran, maupun dari sunnah, riwayat, dan
pandangan para pakar. Tidak mungkin seseorang dapat menjangkau
dan menguraikan seluruhnya, karena itu sungguh tepat
kesimpulan yang diberikan oleh penyair Al-Bushiri,
"Batas pengetahuan tentang beliau, hanya bahwa beliau adalah
seorang manusia, dan bahwa beliau adalah sebaik-baik makhluk
Allah seluruhnya."
Allahum ma shalli wa sallim 'alaih. []
__________________ WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

NABI MUHAMMAD SAW (bagian 2)

Kegelisahan itu bertambah besar pada saat wahyu yang beliau
nanti-nantikan tidak kunjung datang, hingga menurut beberapa
riwayat beliau sedemikian gelisah, sampai-sampai konon beliau
hampir saja mencelakakan dirinya. Rupanya Allah Swt. bermaksud
menjadikan beliau lebih merindukan lagi "sang kekasih dan
firman-firman-Nya" agar semakin mantap cinta beliau
kepada-Nya.
Surat Adh-Dhuha menyatakan sekelumit hal itu, sekaligus
sekilas kedudukan beliau di sisi Allah. Surat ini turun
berkenaan dengan kegelisahan Nabi Muhammad Saw. karena
ketidakhadiran Malaikat Jibril membawa wahyu setelah sekian
kali sebelumnya datang.
"Demi adh-dhuha, dan malam ketika hening. Tuhanmu tidak
meninggalkan kamu dan tidak pula membenci-(mu dan siapa pun).
Mengapa adh-dhuha -yakni "matahari ketika naik
sepenggalah"-yang dipilih berkaitan dengan wahyu-wahyu yang
diterima oleh Nabi Saw., atau apakah adh-dhuha ada kaitannya
dengan ketidakhadiran wahyu-wahyu Ilahi?
Ketika matahari naik sepenggalah, cahayanya memancar menerangi
seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik, sehingga tidak
menyebabkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan
kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan.
Di sini Allah Swt. melambangkan kehadiran wahyu selama ini
sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian
jelas, menyegarkan, dan menyenangkan. Sedangkan ketidakhadiran
wahyu dinyatakan dengan kalimat, "Demi malam ketika hening."
Dari kedua hal yang bertolak belakang itu, Allah menafikan
dugaan atau tanggapan yang menyatakan bahwa Muhammad Saw.
telah ditinggalkan oleh Tuhannya, atau bahkan Tuhan telah
membencinya. Kehadiran malam tidak menjadikan seseorang boleh
berkata bahwa matahari tidak akan terbit lagi, karena
kenyataan sehari-hari membuktikan kekeliruan ucapan seperti
itu. Nah, ketidakhadiran wahyu beberapa saat tidak dapat
dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa wahyu tidak akan hadir
lagi atau Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya.
Ketidakhadiran antara lain menjadi isyarat kepada Nabi
Muhammad Saw. untuk beristirahat, karena "malam" dijadikan
Tuhan sebagai waktu "beristirahat."
Dapat juga dikatakan bahwa ketidakhadiran wahyu justru pada
saat Nabi Muhammad menanti-nantikannya, membuktikan bahwa
wahyu adalah wewenang Tuhan sendiri. Walaupun keinginan Nabi
Saw. meluap-luap menantikan kehadirannya, namun jika Tuhan
tidak menghendaki, wahyu tidak akan datang. Ini membuktikan
bahwa wahyu bukan merupakan hasil renungan atau bisikan jiwa.
Kenabian Muhammad Saw. bukan merupakan hal yang baru bagi umat
manusia. Nabi Muhammad secara tegas diperintahkan untuk
menyatakan hal itu,
"Katakanlah, 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara
rasul-rasul. Aku tidak mengetahui yang diperbuat terhadapku,
tidak juga terhadapmu. Aku tidak lain hanya mengikuti yang
diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain seorang pemberi
peringatan yang menjelaskan.'" (QS Al-Ahqaf [46]: 9)
Namun demikian' kenabian Muhammad Saw. berbeda dengan kenabian
utusan Tuhan yang lain. Sebelum beliau, para Nabi dan Rasul
diutus untuk masyarakat dan waktu tertentu, tetapi Nabi
Muhammad Saw. diutus untuk seluruh manusia di setiap waktu dan
tempat,
"Katakanlah (hai Muhammad), 'Wahai seluruh manusia!
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua'" (QS
Al-A'raf [7]: 158)
Ada sementara orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi
Muhammad Saw. hanya bermaksud mengajarkan agamanya kepada
orang-orang Arab, tetapi setelah beliau berhasil di Madinah,
beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia.
Pendapat ini sungguh keliru, karena sejak di Makkah beliau
telah menegaskan bahwa beliau diutus untuk seluruh manusia.
"Katakanlah (hai Muhammad), 'Wahai seluruh manusia!
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua.'" (QS
Al-A'raf [7]: 158).
Ayat ini turun ketika Nabi Saw. sedang berada di Makkah,
bahkan menurut sementara ulama, semua ayat Al-Quran yang
dimulai dengan panggilan "Wahai seluruh manusia," semuanya
turun di Makkah kecuali beberapa ayat.
Perbedaan yang lain adalah para nabi sebelum beliau selalu
mengaitkan kenabian dengan hal-hal yang bersifat
suprarasional, baik berbentuk sihir, pengetahuan gaib,
mimpi-mimpi, dan lain-lain.
Isa a.s. misalnya bersabda,
"Sesungguhnya Aku telah datang kepadamu dengan membawa bukti
(mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat burung untuk kamu
dari tanah, kemudian aku meniupnya sehingga ia menjadi burung
dengan seizin Allah, dan aku menyembuhkan orang yang buta
sejak lahir, dan orang yang berpenyakit sopak (lepra), dan aku
menghidupkan orang mati dengan seizin Allah, dan aku kabarkan
kepadamu yang kamu makan dan yang kamu simpan di rumahmu.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah suatu tanda (mukjizat
tentang kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu
sungguh-sungguh beriman." (QS Ali 'Imran [3]: 49)
Dalam Perjanjian Baru, Isa a.s. juga menyatakan, "Jangan
percaya padaku, jika aku tidak mengerjakan pekerjaan Bapak
..."
Demikian halnya Isa a.s. dan para nabi sebelumnya. Oleh karena
itu, ketika masyarakat Arab Quraisy meminta bukti-bukti yang
bersifat suprarasional, Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk
menyampaikan kalimat-kalimat berikut:
"Katakanlah, 'Sesungguhnya bukti-bukti itu bersumber dari
Allah, sedang aku hanya pembawa peringatan yang menjelaskan.'"
(QS Al-'Ankabut [29]: 50)
Dr. Nazme Luke, seorang pendeta Mesir, berkomentar bahwa
menghidupkan orang mati, mengembalikan penglihatan orang buta,
dan lain-lain adalah hal-hal yang sangat mengagumkan, tetapi
tidak berarti apa-apa jika digunakan untuk membuktikan bahwa
2+2 = 5.
Masyarakat pada masa Isa a.s. membutuhkan bukti-bukti yang
bersifat suprarasional, karena mereka belum mencapai tingkat
kedewasan yang memadai. Hal ini, tulisnya, sama dengan
membujuk anak kecil untuk makan, padahal jika telah dewasa, ia
akan makan tanpa dibujuk.
Memang Nabi Muhammad Saw. tidak mengandalkan hal-hal yang
bersifat suprarasional sebagai bukti kebenaran ajarannya.
Bukti kebenaran kenabian dan kerasulannya adalah Al-Quran dan
diri beliau sendiri yang ummi (tidak pandai membaca dan
menulis). Para pakar bersepakat dengan menggunakan berbagai
tolok ukur untuk mengakui beliau sebagai manusia teragung yang
pernah dikenal oleh sejarah kemanusiaan
Demikianlah kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes,
Hero, Worship and the Heros in History dengan menggunakan
tolok ukur kepahlawanan. Demikian pula Will Durant dalam The
Story of Civilization in the World dengan tolok ukur hasil
karya, Marcus Dodds dalam Muhammad, Buddha, and Christ, dengan
tolok ukur keberanian moral, Nazme Luke dalam Muhammad
Al-Rasul wa Al-Risalah dengan tolok ukur metode pembuktian
ajaran, serta Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh
dunia yang paling berpengaruh dalam sejarah, dengan tolok ukur
pengaruh serta sederetan pakar lainnya.
"Mustahil bagi siapa pun yang mempelajari kehidupan dan
karakter Muhammad (Saw.), hanya mempunyai perasaan hormat saja
terhadap Nabi mulia itu. Ia akan melampauinya sehingga
meyakini bahwa beliau adalah salah seorang Nabi terbesar dari
sang Pencipta," demikian Annie Besant menulis dalam The Life
and Teachings of Muhammad.
Dalam konteks ini Al-Quran surat Alam Nasyrah ayat 4
menyatakan,
"Sesungguhnya Kami pasti akan meninggikan namamu."
Dalam ayat lain dinyatakan:
"Wahai seluruh manusia, telah datang kepada kamu bukti yang
sangat jelas dan Tuhanmu (yakni Muhammad Saw.), dan Kami telah
(pula) menurunkan cahaya yang terang benderang (Al-Quran)" (QS
Al-Nisa' [4]: 174).
Akhlak dan Fungsi Kenabian Muhammad Saw.
Al-Quran mengakui secara tegas bahwa Nabi Muhammad Saw.
memiliki akhlak yang sangat agung. Bahkan dapat dikatakan
bahwa konsideran pengangkatan beliau sebagai nabi adalah
keluhuran budi pekertinya. Hal ini dipahami dari wahyu ketiga
yang antara lain menyatakan bahwa:
"Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang
agung" (QS Al-Qalam [68]: 4).
Kata "di atas" tentu mempunyai makna yang sangat dalam,
melebihi kata lain, misalnya, pada tahap/dalam keadaan akhlak
mulia
Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran surat Al-An'am ayat 90
menyebutkan dalam rangkaian ayat-ayatnya 18 nama Nabi/Rasul.
Setelah kedelapan belas nama disebut, Allah berpesan kepada
Nabi Muhammad Saw.,
"Mereka itulah yang telah memperoleh petunjuk dari Allah, maka
hendaknya kamu meneladani petunjuk yang mereka peroleh."
Ulama-ulama tafsir menyatakan bahwa Nabi Saw. pasti
memperhatikan benar pesan ini. Hal itu terbukti antara lain,
ketika salah seorang pengikutnya mengecam kebijaksanaan beliau
saat membagi harta rampasan perang, beliau menahan amarahnya
dan menyabarkan diri dengan berkata,
"Semoga Allah merahmati Musa a s. Dia telah diganggu melebihi
gangguan yang kualami ini, dan dia bersabar (maka aku lebih
wajar bersabar daripada Musa a s.)."
Karena itu pula sebagian ulama tafsir menyimpulkan, bahwa
pastilah Nabi Muhammad Saw. telah meneladani sifat-sifat
terpuji para nabi sebelum beliau
Nabi Nuh a.s. dikenal sebagai seorang yang gigih dan tabah
dalam berdakwah. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai seorang
yang amat pemurah, serta amat tekun bermujahadah mendekatkan
diri kepada Allah. Nabi Daud a.s. dikenal sebagai nabi yang
amat menonjolkan rasa syukur serta penghargaannya terhadap
nikmat Allah. Nabi Zakaria a.s., Yahya a.s., dan Isa a.s.,
adalah nabi-nabi yang berupaya menghindari kenikmatan dunia
demi mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Nabi Yusuf a.s. terkenal gagah, dan amat bersyukur dalam
nikmat dan bersabar menahan cobaan. Nabi Yunus a. s. diketahui
sebagai nabi yang amat khusyuk ketika berdoa, Nabi Musa
terbukti sebagai nabi yang berani dan memiliki ketegasan, Nabi
Harun a.s. sebaliknya, adalah nabi yang penuh dengan
kelemahlembutan. Demikian seterusnya, dan Nabi Muhammad Saw.
meneladani semua keistimewaan mereka itu.
Ada beberapa sifat Nabi Muhammad Saw. yang ditekankan oleh
Al-Quran, antara lain,
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaum mu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu (umat manusia),
serta sangat menginginkan kebaikan untuk kamu semua, lagi amat
tinggi belas kasihannya serta penyayang terhadap orang-orang
mukmin" (QS Al-Tawbah [9]: 128).
Begitu besar perhatiannya kepada umat manusia, sehingga
hampir-hampir saja ia mencelakakan diri demi mengajak mereka
beriman (baca QS Syu'ara [26]: 3). Begitu luas rahmat dan
kasih sayang yang dibawanya, sehingga menyentuh manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk tak bernyawa.
Sebelum Eropa memperkenalkan Organisasi Pencinta Binatang,
Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan,
"Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap
binatang-binatang, kendarailah dan makanlah dengan baik."
"Seorang wanita terjerumus ke dalam neraka karena seekor
kucing yang dikurungnya."
"Seorang wanita yang bergelimang dosa diampuni Tuhan karena
memberi minum seekor anjing yang kehausan."
Rahmat dan kasih sayang yang dicurahkannya sampai pula pada
benda-benda tak bernyawa. Susu, gelas, cermin, tikar, perisai,
pedang, dan sebagainya, semuanya beliau beri nama, seakan-akan
benda-benda tak bernyawa itu mempunyai kepribadian yang
membutuhkan uluran tangan, rahmat, kasih sayang, dan
persahabatan.
Diakui bahwa Muhammad Saw. diperintahkan Allah untuk
menegaskan bahwa,
"Aku tidak lain kecuali manusia seperti kamu, (tetapi aku)
diberi wahyu ..." (QS Al-Kahf [18]: 110).
(bersambung 3/3)
_________________ WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.ne t

20110811

NABI MUHAMMAD SAW

Disadari atau tidak, wujud Tuhan pasti dirasakan oleh jiwa
manusia baik redup atau benderang. Manusia menyadari bahwa
suatu ketika dirinya akan mati. Kesadaran ini mengantarkannya
kepada pertanyaan tentang apa yang akan terjadi sesudah
kematian, bahkan menyebabkan manusia berusaha memperoleh
kedamaian dan keselamatan di negeri yang tak dikenal itu.
Wujud Tuhan yang dirasakan, serta hal-ihwal kematian,
merupakan dua dari sekian banyak faktor pendorong manusia
untuk berhubungan dengan Tuhan dan memperoleh informasi yang
pasti. Sayangnya tidak semua manusia mampu melakukan hal itu.
Namun, kemurahan Allah menyebabkan-Nya memilih manusia
tertentu untuk menyampaikan pesan-pesan Allah, baik untuk
periode dan masyarakat tertentu maupun untuk seluruh manusia
di setiap waktu dan tempat. Mereka yang mendapat tugas itulah
yang dinamai Nabi (penyampai berita) dan Rasul (Utusan Tuhan).
Jumlah mereka secara pasti tidak diketahui. Al-Quran hanya
menginforrnasikan bahwa,
"Tidak satu umat (kelompok masyarakat) pun kecuali telah
pernah diutus kepadanya seorang pembawa peringatan" (QS Fathir
[35]: 24).
Al-Quran juga menyatakan kepada Nabinya bahwa,
"Kami telah mengutus nabi-nabi sebelum kamu, di antara mereka
ada yang telah kami sampaikan kisahnya, dan ada pula yang
tidak Kami sampaikan kepadamu" (QS Al-Mu'min [40]: 78)
Al-Quran menyebutkan secara tegas nama dua puluh lima
Nabi/Rasul; delapan belas di antaranya disebutkan dalam
Al-Quran surat Al-An'am (6): 83-86, sisanya didapatkan dari
berbagai ayat.
Nabi Muham mad Saw. seperti dinyatakan Al-Quran surat Al-A'raf
(7): 158 -diutus kepada seluruh manusia, dan beliau merupakan
khataman nabiyyin (penutup para nabi) (QS Al-Ahzab [33]: 40).
Masa Prakelahiran
Al-Quran menegaskan bahwa para nabi telah pernah diangkat
janjinya untuk percaya dan membela Nabi Muhammad SAW.
"Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dan para Nabi,
'Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan
hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) yang
membenarkan kamu, niscaya kamu sungguh-sungguh akan beriman
kepadanya dan menolongnya.' Allah berfirman, 'Apakah kamu
mengakui dan menerima perjanjian-Ku yang demikian itu?' Mereka
menjawab, 'Kami mengakui.'" (QS Ali'Imran [3]: 81)
Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad Saw. bersabda,
"Demi (Allah) yang jiwaku berada pada genggaman-Nya,
seandainya Musa a.s. hidup, dia tidak dapat mengelak dan
mengikutiku" (HR Imam Ahmad)
Tidak jelas kapan dan bagaimana perjanjian yang disinggung
ayat tersebut. Setidaknya, ia mengisyaratkan bahwa Allah SWT.
telah merencanakan sesuatu untuk Nabi Muhammad Saw., jauh
sebelum kelahiran beliau. Karena itu pula sementara pakar
menyatakan bahwa kematian ayah beliau sebelum kelahiran,
kepergiannya ke pedesaan menjauhi ibunya, serta
ketidakmampuannya membaca dan menulis merupakan strategi yang
dipersiapkan Tuhan kepada beliau untuk dijadikan utusan-Nya
kepada seluruh umat manusia kelak.
Bahkan ulama lain meyakini bahwa pemilihan hal-hal tertentu
berkaitan dengan beliau bukanlah kebetulan. Misalnya bulan
lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan Rabi'ul Awal (musim
bunga). Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya Abdullah
(hamba Allah) , ibunya Aminah (yang memberi rasa aman),
kakeknya yang bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang
tua yang bijaksana), sedangkan yang membantu ibunya melahirkan
bernama Asy-Syifa' (yang sempurna dan sehat), serta yang
menyusukannya adalah Halimah As-Sa'diyah (yang lapang dada dan
mujur). Semuanya mengisyaratkan keistimewaan berkaitan dengan
Nabi Muhammad Saw. Makna nama-nama tersebut memiliki kaitan
yang erat dengan kepribadian Nabi Muhammad Saw.
Al-Quran surat Al-A'raf (7): 157 juga menginformasikan bahwa
Nabi Muhammad Saw. pada hakikatnya dikenal oleh orang-orang
Yahudi dan Nasrani. Hal ini antara lain disebabkan mereka
mendapatkan (nama)-nya tertulis di dalam Taurat dan Injil (QS
Al-A'raf [7]: 157).
Menurut pakar agama Islam, yang ditegaskan oleh Al-Quran itu,
dapat terbaca antara lain dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan
33 ayat 2:
"... bahwa Tuhan telah datang dari Torsina, dan telah terbit
untuk mereka itu dari Seir, kelihatanlah ia dengan gemerlapan
cahayanya dari gunung Paran."
Pemahaman mereka berdasarkan analisis berikut: "Gunung Paran"
menurut Kitab Perjanjian Lama, Kejadian ayat 21, adalah tempat
putra Ibrahim -yakni Nabi Ismail- bersama ibunya Hajar
memperoleh air (Zam-Zam). Ini berarti bahwa tempat tersebut
adalah Makkah, dan dengan demikian yang tercantum dalam Kitab
Ulangan di atas mengisyaratkan tiga tempat terpancarnya cahaya
wahyu Ilahi: Thur Sina tempat Nabi Musa a.s., Seir tempat Nabi
Isa a.s. , dan Makkah tempat Nabi Muhammad Saw. Sejarah
membuktikan bahwa beliau satu-satunya Nabi dari Makkah.
Karena itu pula wajar jika Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 146
menyatakan bahkan mereka itu mengenalnya (Muhammad Saw.),
sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka, bahkan salah
seorang penganut agama Yahudi yang kemudian masuk Islam, yaitu
Abdullah bin Salam pernah berkata, "Kami lebih mengenal dan
lebih yakin tentang kenabian Muhammad Saw. daripada pengenalan
dan keyakinan kami tentang anak-anak kami. Siapa tahu pasangan
kami menyeleweng."
Masa Prakenabian
Ada beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang Nabi
Muhammad Saw. sebelum kenabian beliau. Antara lain,
"Bukankah Dia (Tuhan) mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu
Dia melindungimu, dan Dia mendapatimu bimbang, lalu Dia
memberi petunjuk kepadamu, dan Dia mendapatimu dalam keadaan
kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?" (QS Al-Dhuha [93]:
6-8).
Beliau yatim sejak di dalam kandungan, kemudian dipelihara dan
dilindungi oleh paman dan kakeknya. Beliau hidup di dalam
keresahan dan kebimbangan melihat sikap masyarakatnya, lalu
Allah memberinya petunjuk, dan mengangkatnya sebagai Nabi dan
Rasul. Beliau hidup miskin karena ayahnya tidak meninggalkan
warisan untuknya, kecuali beberapa ekor kambing dan harta
lainnya yang tidak berarti. Tetapi Allah memberinya kecukupan,
khususnya menjelang dan saat hidup berumah tangga dengan
istrinya, Khadijah a.s.
Ayat lain yang oleh ulama dianggap berbicara tentang Nabi
Muhammad Saw. pada masa kanak-kanaknya, adalah surat Alam
Nasyrah ayat pertama:
"Bukankah Kami (Tuhan) telah melapangkan dada untukmu?"
Sebagian ulama mengartikan kata nasyrah dengan
"memotong/membedah." Memang, bila dikaitkan dengan sesuatu
yang bersifat materi, artinya demikian. Apabila dikaitkan
dengan sesuatu yang bersifat nonmateri, kata itu mengandung
arti membuka, memberi pemahaman, menganugerahkan ketenangan
dan semaknanya.
Yang mengaitkan dengan hal-hal materi berpendapat bahwa ayat
ini berbicara tentang "pembedahan" yang pernah dilakukan oleh
para malaikat terhadap Nabi Muhammad Saw. kala beliau remaja.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh mufasir An
-Naisaburi.
Tetapi sepanjang penelitian penulis kata tersebut dengan
berbagai bentuknya terulang sebanyak 5 kali, dan tidak satu
pun yang digunakan dengan arti harfiah, apalagi bermakna
pembedahan. Akan lebih jelas lagi jika hal itu disejajarkan
dengan ayat yang berbicara tentang doa Nabi Musa a.s. di dalam
Al-Quran.
"Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku
urusanku dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka
mengerti perkataanku" (QS Thaha [20]: 25-28)
Selanjutnya Al-Quran menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak
pernah membaca satu kitab atau menulis satu kata sebelum
datangnya wahyu Al-Quran.
"Engkau tidak pernah membaca satu kitab pun sebelumnya
(Al-Quran), tidak juga menulis satu tulisan dengan tanganmu,
(andai kata kamu pernah membaca dan menulis) pasti akan
benar-benar ragulah orang yang mengingkari-(mu)" (QS
Al-'Ankabut [29]: 48).
Ayat ini secara pasti menyatakan bahwa beliau Saw. adalah
orang yang tidak pandai membaca dan menulis. Banyak ulama yang
memahami bahwa kendatipun kemudian Nabi Saw. menganjurkan
umatnya belajar membaca dan menulis, namun beliau sendiri
tidak melakukannya, karena Allah Swt. ingin menjadikan beliau
sebagai bukti bahwa informasi yang diperolehnya benar-benar
bukan bersumber dari manusia, melainkan dari Allah Swt.
Ada juga ulama yang memahami bahwa ketidakmampuan beliau
membaca hanya terbatas sampai sebelum terbukti kebenaran
ajaran Islam. Setelah kebenaran Islam terbukti -setelah hijrah
ke Madinah- beliau telah pandai membaca. Menurut pendukungnya
ide ini dikuatkan antara lain oleh kata "sebelumnya" yang
terdapat pada ayat di atas.
Memang, kata ummi hanya ditemukan dua kali dalam Al-Quran (QS
Al-A'raf [7] 157 dan 158) , dan keduanya menjadi sifat Nabi
Muhammad Saw. Memang kedua ayat itu turun di Makkah, meskipun
ada juga ayat lain yang turun di Madinah menyatakan,
"Dia (Allah) yang mengutus kepada masyarakat ummiyyin (buta
huruf), seorang Rasul di antara mereka" (QS Al-Jum'ah [62]: 2)
Di sisi lain, harus disadari bahwa masyarakat beliau ketika
itu menganggap kemampuan menulis sebagai bukti kelemahan
seseorang.
Pada masa itu sarana tulis-menulis amat langka, sehingga
masyarakat amat mengandalkan hafalan. Seseorang yang menulis
dianggap tidak memiliki kemampuan menghafal, dan ini merupakan
kekurangan. Penyair Zurrummah pernah ditemukan sedang menulis,
dan ketika ia sadar bahwa ada orang yang melihatnya, ia
bermohon,
"Jangan beri tahu siapa pun, karena ini (kemampuan menulis)
bagi kami adalah aib."
Memang, nilai-nilai dalam masyarakat berubah, sehingga apa
yang dianggap baik pada hari ini, boleh jadi sebelumnya
dinilai buruk. Pada masa kini kemampuan menghafal tidak
sepenting masa lalu, karena sarana tulis-menulis dengan mudah
diperoleh.
Masa Kenabian
Pada usia 40 tahun, yang disebut oleh Al-Quran surat Al-Ahqaf
ayat 15 sebagai usia kesempurnaan, Muhammad Saw. diangkat
menjadi Nabi. Ditandai dengan turunnya wahyu pertama Iqra'
bismi Rabbik.
Sebelumnya beliau tidak pernah menduga akan mendapat tugas dan
kedudukan yang demikian terhormat. Karena itu ditemukan
ayat-ayat Al-Quran yang menguraikan sikap beliau terhadap
wahyu dan memberi kesan bahwa pada mulanya beliau sendiri
"ragu" dan gelisah mengenai hal yang dialaminya. QS Yunus
(10): 94 mengisyaratkan bahwa,
"Kalau engkau ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepadamu,
maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab Suci
sebelum kamu (QS Yunus [10]: 94).
(bersambung 2/3)

_________________ WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.ne t

20110727

KAUTAMANING LAKU

.Wong eling ing ngelmu sarak
dalil sinung kamurahaning
Pangeran.
.Wong amrih rahayuning
sesaminira, sinung ayating
Pangeran.
. Angrawuhana ngelmu gaib,
nanging aja tinggal ngelmu sarak,
iku paraboting urip kang utama.
. Aja kurang pamariksanira lan
den agung pangapunira.
. Agawe kabecikan marang
sesaminira tumitah, agawea
sukaning manahe sesamaning
jalma.
. Aja duwe rumangsa bener
sarta becik, rumangsa ala sarta
luput, den agung,
panalangsanira ing Pangeran
Kang Maha Mulya, lamun sira
ngrasa bener lawan becik,
ginantungan bebenduning
Pangeran.
. Angenakena sarira, angayem-
ayema nalarira, aja
anggrangsang samubarang kang
sinedya, den prayitna barang
karya.
. Elinga marang Kang Murbeng
Jagad, aja pegat rina lan wengi.
. Atapaa geniara, tegese den
teguh yen krungu ujar ala.
. Atapaa banyuara, tegese
ngeli, basa ngeli iku nurut
saujaring liyan, datan nyulayani.
. Tapa ngluwat, tegese
mendhem atine aja ngatonake
kabecikane dhewe.
. Aprang Sabilillah, tegese
prang sabil iku, sajroning jajanira
priyangga ana prang Bratayudha,
prang ati ala lan ati becik.
__Oleh : eshat_madiun__

20110706

laila majnun

Alkisah, seorang kepala suku
Bani Umar di Jazirah Arab
memiIiki segala macam yang
diinginkan orang, kecuali satu
hal bahwa ia tak punya seorang
anakpun. Tabib-tabib di desa itu
menganjurkan berbagai macam
ramuan dan obat, tetapi tidak
berhasil. Ketika semua usaha
tampak tak berhasil, istrinya
menyarankan agar mereka
berdua bersujud di hadapan
Tuhan dan dengan tulus
memohon kepada Allah swt
memberikan anugerah kepada
mereka berdua. “Mengapa
tidak?” jawab sang kepala suku.
“Kita telah mencoba berbagai
macam cara. Mari, kita coba
sekali lagi, tak ada ruginya.”
Mereka pun bersujud kepada
Tuhan, sambil berurai air mata
dari relung hati mereka yang
terluka. “Wahai Segala Kekasih,
jangan biarkan pohon kami tak
berbuah. Izinkan kami
merasakan manisnya menimang
anak dalam pelukan kami.
Anugerahkan kepada kami
tanggung jawab untuk
membesarkan seorang manusia
yang baik. Berikan kesempatan
kepada kami untuk membuat-
Mu bangga akan anak kami.”
Tak lama kemudian, doa mereka
dikabulkan, dan Tuhan
menganugerahi mereka seorang
anak laki-laki yang diberi nama
Qais. Sang ayah sangat
berbahagia, sebab Qais dicintai
oleh semua orang. Ia tampan,
bermata besar, dan berambut
hitam, yang menjadi pusat
perhatian dan kekaguman. Sejak
awal, Qais telahmemperlihatkan
kecerdasan dan kemampuan fisik
istimewa. Ia punya bakat luar
biasa dalam mempelajari seni
berperang dan memainkan
musik, menggubah syair dan
melukis.
Ketika sudah cukup umur untuk
masuk sekolah, ayahnya
memutuskan membangun
sebuah sekolah yang indah
dengan guru-guru terbaik di
Arab yang mengajar di sana ,
dan hanya beberapa anak saja
yang belajar di situ. Anak-anak
lelaki dan perempuan dan
keluarga terpandang di seluruh
jazirah Arab belajar di sekolah
baru ini.
Di antara mereka ada seorang
anak perempuan dari kepala
suku tetangga. Seorang gadis
bermata indah, yang memiliki
kecantikan luar biasa. Rambut
dan matanya sehitam malam;
karena alasan inilah mereka
menyebutnya Laila-”Sang
Malam”. Meski ia baru berusia
dua belas tahun, sudah banyak
pria melamarnya untuk dinikahi,
sebab-sebagaimana lazimnya
kebiasaan di zaman itu, gadis-
gadis sering dilamar pada usia
yang masih sangat muda, yakni
sembilan tahun.
Laila dan Qais adalah teman
sekelas. Sejak hari pertama
masuk sekolah, mereka sudah
saling tertarik satu sama lain.
Seiring dengan berlalunya waktu,
percikan ketertarikan ini makin
lama menjadi api cinta yang
membara. Bagi mereka berdua,
sekolah bukan lagi tempat
belajar. Kini, sekolah menjadi
tempat mereka saling bertemu.
Ketika guru sedang mengajar,
mereka saling berpandangan.
Ketika tiba
waktunya menulis pelajaran,
mereka justru saling menulis
namanya di atas kertas. Bagi
mereka berdua, tak ada teman
atau kesenangan lainnya. Dunia
kini hanyalah milik Qais dan
Laila.
Mereka buta dan tuli pada yang
lainnya. Sedikit demi sedikit,
orang-orang mulai mengetahui
cinta mereka, dan gunjingan-
gunjingan pun mulai terdengar.
Di zaman itu, tidaklah pantas
seorang gadis dikenal sebagai
sasaran cinta seseorang dan
sudah pasti mereka tidak akan
menanggapinya. Ketika orang-
tua Laila mendengar bisik-bisik
tentang anak gadis mereka,
mereka pun melarangnya pergi
ke sekolah. Mereka tak sanggup
lagi menahan beban malu pada
masyarakat sekitar.
Ketika Laila tidak ada di ruang
kelas, Qais menjadi sangat
gelisah sehingga ia meninggalkan
sekolah dan menyelusuri jalan-
jalan untuk mencari kekasihnya
dengan memanggil-manggil
namanya. Ia menggubah syair
untuknya dan membacakannya
di jalan-jalan. Ia hanya berbicara
tentang Laila dan tidak juga
menjawab pertanyaan orang-
orang kecuali bila mereka
bertanya tentang Laila. Orang-
orang pun tertawa dan berkata,
” Lihatlah Qais , ia sekarang
telah menjadi seorang majnun,
gila!”
Akhirnya, Qais dikenal dengan
nama ini, yakni “Majnun”.
Melihat orang-orang dan
mendengarkan mereka berbicara
membuat Majnun tidak tahan. Ia
hanya ingin melihat dan
berjumpa dengan Laila
kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila
telah dipingit oleh orang tuanya
di rumah, yang dengan bijaksana
menyadari bahwa jika Laila
dibiarkan bebas bepergian, ia
pasti akan menjumpai Majnun.
Majnun menemukan sebuah
tempat di puncak bukit dekat
desa Laila dan membangun
sebuah gubuk untuk dirinya
yang menghadap rumah Laila.
Sepanjang hari Majnun duduk-
duduk di depan gubuknya,
disamping sungai kecil berkelok
yang mengalir ke bawah menuju
desa itu. Ia berbicara kepada air,
menghanyutkan dedaunan
bunga liar, dan Majnun merasa
yakin bahwa sungai itu akan
menyampaikan pesan cintanya
kepada Laila. Ia menyapa
burung-burung dan meminta
mereka untuk terbang kepada
Laila serta memberitahunya
bahwa ia dekat.
Ia menghirup angin dari barat
yang melewati desa Laila. Jika
kebetulan ada seekor anjing
tersesat yang berasal dari desa
Laila, ia pun memberinya makan
dan merawatnya, mencintainya
seolah-olah anjing suci,
menghormatinya dan
menjaganya sampai tiba saatnya
anjing itu pergi jika memang mau
demikian. Segala sesuatu yang
berasal dari tempat kekasihnya
dikasihi dan disayangi sama
seperti kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan berlalu dan
Majnun tidak menemukan jejak
Laila. Kerinduannya kepada Laila
demikian besar sehingga ia
merasa tidak bisa hidup sehari
pun tanpa melihatnya kembali.
Terkadang sahabat-sahabatnya
di sekolah dulu datang
mengunjunginya, tetapi ia
berbicara kepada mereka hanya
tentang Laila, tentang betapa ia
sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki,
sahabatnya yang datang
mengunjunginya demikian
terharu oleh penderitaan dan
kepedihan Majnun sehingga
mereka bertekad embantunya
untuk berjumpa kembali dengan
Laila. Rencana mereka sangat
cerdik. Esoknya, mereka dan
Majnun mendekati rumah Laila
dengan menyamar sebagai
wanita. Dengan mudah mereka
melewati wanita-wanita
pembantu dirumah Laila dan
berhasil masuk ke pintu
kamarnya.
Majnun masuk ke kamar,
sementara yang lain berada di
luar berjaga-jaga. Sejak ia
berhenti masuk sekolah, Laila
tidak melakukan apapun kecuali
memikirkan Qais. Yang cukup
mengherankan, setiap kali ia
mendengar burung-burung
berkicau dari jendela atau angin
berhembus semilir, ia
memejamkan.matanya sembari
membayangkan bahwa ia
mendengar suara Qais
didalamnya. Ia akan mengambil
dedaunan dan bunga yang
dibawa oleh angin atau sungai
dan tahu bahwa semuanya itu
berasal dari Qais. Hanya saja, ia
tak pernah berbicara kepada
siapa pun, bahkan juga kepada
sahabat-sahabat terbaiknya,
tentang cintanya.
Pada hari ketika Majnun masuk
ke kamar Laila, ia merasakan
kehadiran dan kedatangannya.
Ia mengenakan pakaian sutra
yang sangat bagus dan indah.
Rambutnya dibiarkan lepas
tergerai dan disisir dengan rapi di
sekitar bahunya. Matanya diberi
celak hitam, sebagaimana
kebiasaan wanita Arab, dengan
bedak hitam yang disebut
surmeh. Bibirnya diberi lipstick
merah, dan pipinya yang
kemerah-merahan tampak
menyala serta menampakkan
kegembiraannya. Ia duduk di
depan pintu dan menunggu.
Ketika Majnun masuk, Laila tetap
duduk. Sekalipun sudah
diberitahu bahwa Majnun akan
datang, ia tidak percaya bahwa
pertemuan itu benar-benar
terjadi. Majnun berdiri di pintu
selama beberapa menit,
memandangi, sepuas-puasnya
wajah Laila. Akhirnya, mereka
bersama lagi! Tak terdengar
sepatah kata pun, kecuali
detak jantung kedua orang yang
dimabuk cinta ini. Mereka saling
berpandangan dan lupa waktu.
Salah seorang wanita pembantu
di rumah itu melihat sahabat-
sahabat Majnun di luar kamar
tuan putrinya. Ia mulai curiga
dan memberi isyarat kepada
salah seorang pengawal. Namun,
ketika ibu Laila datang
menyelidiki, Majnun dan kawan-
kawannya sudah jauh pergi.
Sesudah orang-tuanya bertanya
kepada Laila,
maka tidak sulit bagi mereka
mengetahui apa yang telah
terjadi. Kebisuan dan
kebahagiaan yang terpancar
dimatanya menceritakan segala
sesuatunya.
Sesudah terjadi peristiwa itu,
ayah Laila menempatkan para
pengawal di setiap pintu di
rumahnya. Tidak ada jalan lain
bagi Majnun untuk menghampiri
rumah Laila, bahkan dari
kejauhan sekalipun. Akan tetapi
jika ayahnya berpikiran bahwa,
dengan bertindak hati-hati ini ia
bisa mengubah perasaan Laila
dan Majnun, satu sama
lain, sungguh ia salah besar.
Ketika ayah Majnun tahu
tentang peristiwa di rumah Laila,
ia memutuskan untuk
mengakhiri drama itu dengan
melamar Laila untuk anaknya. Ia
menyiapkan sebuah kafilah
penuh dengan hadiah dan
mengirimkannya ke desa Laila.
Sang tamu pun disambut dengan
sangat baik, dan kedua kepala
suku itu berbincang-bincang
tentang kebahagiaan anak-anak
mereka. Ayah Majnun lebih dulu
berkata, “Engkau tahu benar,
kawan, bahwa ada dua hal yang
sangat penting bagi kebahagiaan,
yaitu “Cinta dan Kekayaan”.
Anak lelakiku mencintai anak
perempuanmu, dan aku bisa
memastikan bahwa aku sanggup
memberi mereka cukup banyak
uang untuk mengarungi
kehidupan yang bahagia dan
menyenangkan. Mendengar hal
itu, ayah Laila pun menjawab,
“Bukannya aku menolak Qais.
Aku percaya kepadamu, sebab
engkau pastilah seorang mulia
dan
terhormat,” jawab ayah Laila.
“Akan tetapi, engkau tidak bisa
menyalahkanku kalau aku
berhati-hati dengan anakmu.
Semua orang tahu perilaku
abnormalnya. Ia berpakaian
seperti seorang pengemis. Ia
pasti sudah lama tidak mandi
dan iapun hidup bersama
hewan-hewan dan menjauhi
orang banyak. “Tolong katakan
kawan, jika engkau punya anak
perempuan dan engkau berada
dalam posisiku, akankah engkau
memberikan anak
perempuanmu kepada anakku?”
Ayah Qais tak dapat
membantah. Apa yang bisa
dikatakannya? Padahal, dulu
anaknya adalah teladan utama
bagi kawan-kawan sebayanya?
Dahulu Qais adalah anak yang
paling cerdas dan berbakat di
seantero Arab? Tentu saja, tidak
ada yang dapat dikatakannya.
Bahkan, sang ayahnya sendiri
susah untuk mempercayainya.
Sudah lama orang tidak
mendengar ucapan bermakna
dari Majnun. “Aku tidak akan
diam berpangku tangan dan
melihat anakku menghancurkan
dirinya sendiri,” pikirnya. “Aku
harus melakukan sesuatu.”
Ketika ayah Majnun kembali
pulang, ia menjemput anaknya,
Ia mengadakan pesta makan
malam untuk menghormati
anaknya. Dalam jamuan pesta
makan malam itu, gadis-gadis
tercantik di seluruh negeri pun
diundang. Mereka pasti bisa
mengalihkan perhatian Majnun
dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta
itu, Majnun
diam dan tidak mempedulikan
tamu-tamu lainnya. Ia duduk di
sebuah sudut ruangan sambil
melihat gadis-gadis itu hanya
untuk mencari pada diri mereka
berbagai kesamaan dengan yang
dimiliki Laila.
Seorang gadis mengenakan
pakaian yang sama dengan milik
Laila; yang lainnya punya rambut
panjang seperti Laila, dan yang
lainnya lagi punya senyum mirip
Laila. Namun, tak ada seorang
gadis pun yang benar-benar
mirip dengannya,Malahan, tak
ada seorang pun yang memiliki
separuh kecantikan Laila. Pesta
itu hanya menambah kepedihan
perasaan Majnun saja kepada
kekasihnya. Ia pun berang dan
marah serta menyalahkan setiap
orang di pesta itu lantaran
berusaha mengelabuinya.
Dengan berurai air mata,
Majnun menuduh orang-tuanya
dan sahabat-sahabatnya sebagai
berlaku kasar dan kejam
kepadanya. Ia menangis
sedemikian hebat hingga
akhirnya jatuh ke lantai dalam
keadaan pingsan. Sesudah terjadi
petaka ini, ayahnya memutuskan
agar Qais dikirim untuk
menunaikan ibadah haji ke
Mekah
dengan harapan bahwa Allah
akan merahmatinya dan
membebaskannya dari cinta yang
menghancurkan ini.
Di Makkah, untuk
menyenangkan ayahnya, Majnun
bersujud di depan altar Kabah,
tetapi apa yang ia mohonkan?
“Wahai Yang Maha Pengasih,
Raja Diraja Para Pecinta, Engkau
yang menganugerahkan cinta,
aku hanya mohon kepada-Mu
satu hal saja,”Tinggikanlah
cintaku sedemikian rupa
sehingga, sekalipun aku binasa,
cintaku dan kekasihku tetap
hidup.” Ayahnya kemudian tahu
bahwa tak ada lagi yang bisa ia
lakukan untuk anaknya.
Usai menunaikan ibadah haji,
Majnun yang tidak mau lagi
bergaul dengan orang banyak di
desanya, pergi ke pegunungan
tanpa memberitahu di mana ia
berada. Ia tidak kembali ke
gubuknya. Alih-alih tinggal
dirumah, ia memilih tinggal
direruntuhan sebuah bangunan
tua yang terasing dari
masyarakat dan tinggal
didalamnya. Sesudah itu, tak ada
seorang pun yang mendengar
kabar tentang Majnun. Orang-
tuanya mengirim segenap
sahabat dan keluarganya untuk
mencarinya. Namun, tak seorang
pun berhasil menemukannya.
Banyak orang berkesimpulan
bahwa Majnun dibunuh oleh
binatang-binatang gurun sahara.
Ia bagai hilang ditelan bumi.
Suatu hari, seorang musafir
melewati reruntuhan bangunan
itu dan melihat ada sesosok
aneh yang duduk di salah
sebuah tembok yang hancur.
Seorang liar denganrambut
panjang hingga ke bahu,
jenggotnya panjang dan acak-
acakan, bajunya compang-
camping dan kumal. Ketika sang
musafir mengucapkan salam dan
tidak
beroleh jawaban, ia
mendekatinya. Ia melihat ada
seekor serigala tidur di kakinya.
“Hus” katanya, ‘Jangan
bangunkan sahabatku.”
Kemudian, ia mengedarkan
pandangan ke arah kejauhan.
Sang musafir pun duduk di situ
dengan tenang. Ia menunggu
dan ingin tahu apa yang akan
terjadi. Akhimya, orang liar itu
berbicara. Segera saja ia pun
tahu bahwa ini adalah Majnun
yang terkenal itu, yang berbagai
macam perilaku anehnya
dibicarakan orang di seluruh
jazirah Arab. Tampaknya,
Majnun tidak kesulitan
menyesuaikan diri dengan
kehidupan dengan binatang-
binatang buas dan liar. Dalam
kenyataannya, ia sudah
menyesuaikan diri dengan sangat
baik sehingga lumrah-lumrah
saja melihat dirinya sebagai
bagian dari kehidupan liar dan
buas itu.
Berbagai macam binatang
tertarik kepadanya, karena
secara naluri mengetahui bahwa
Majnun tidak akan
mencelakakan mereka. Bahkan,
binatang-binatang buas seperti
serigala sekalipun percaya pada
kebaikan dan kasih sayang
Majnun. Sang musafir itu
mendengarkan Majnun
melantunkan berbagai kidung
pujiannya pada
Laila. Mereka berbagi sepotong
roti yang diberikan olehnya.
Kemudian, sang musafir itu pergi
dan melanjutkan petjalanannya.
Ketika tiba di desa Majnun, ia
menuturkan kisahnya pada
orang-orang. Akhimya, sang
kepala suku, ayah Majnun,
mendengar berita itu. Ia
mengundang sang musafir ke
rumahnya dan meminta
keteransran rinci darinya. Merasa
sangat gembira dan bahagia
bahwa Majnun masih hidup,
ayahnya pergi ke gurun sahara
untuk menjemputnya.
Ketika melihat reruntuhan
bangunan yang dilukiskan oleh
sang musafir itu, ayah Majnun
dicekam oleh emosi dan
kesedihan yang luar biasa.
Betapa tidak! Anaknya
terjerembab dalam keadaan
mengenaskan seperti ini. “Ya
Tuhanku, aku mohon agar
Engkau menyelamatkan anakku
dan mengembalikannya ke
keluarga kami,” jerit sang
ayah menyayat hati. Majnun
mendengar doa ayahnya dan
segera keluar dari tempat
persembunyiannya. Dengan
bersimpuh dibawah kaki
ayahnya, ia pun menangis,
“Wahai ayah, ampunilah aku
atas segala kepedihan yang
kutimbulkan pada dirimu. Tolong
lupakan bahwa engkau pernah
mempunyai seorang anak, sebab
ini akan meringankan beban
kesedihan ayah. Ini sudah
nasibku mencinta, dan hidup
hanya untuk mencinta.” Ayah
dan anak pun saling berpelukan
dan menangis. Inilah pertemuan
terakhir mereka.
Keluarga Laila menyalahkan
ayah Laila lantaran salah dan
gagal menangani situasi putrinya.
Mereka yakin bahwa peristiwa itu
telah mempermalukan seluruh
keluarga. Karenanya, orangtua
Laila memingitnya dalam
kamamya. Beberapa sahabat
Laila diizinkan untuk
mengunjunginya, tetapi ia tidak
ingin ditemani. Ia berpaling
kedalam hatinya, memelihara api
cinta yang membakar dalam
kalbunya. Untuk
mengungkapkan segenap
perasaannya yang terdalam, ia
menulis dan menggubah syair
kepada kekasihnya pada
potongan-potongan kertas kecil.
Kemudian, ketika ia
diperbolehkan menyendiri di
taman, ia pun menerbangkan
potongan-potongan kertas
kecil ini dalam hembusan angin.
Orang-orang yang menemukan
syair-syair dalam potongan-
potongan kertas kecil itu
membawanya kepada Majnun.
Dengan cara demikian, dua
kekasih itu masih bisa menjalin
hubungan.
Karena Majnun sangat terkenal
di seluruh negeri, banyak orang
datang mengunjunginya. Namun,
mereka hanya berkunjung
sebentar saja, karena mereka
tahu bahwa Majnun tidak kuat
lama dikunjungi banyak orang.
Mereka mendengarkannya
melantunkan syair-syair indah
dan memainkan serulingnya
dengan sangat memukau.
Sebagian orang merasa iba
kepadanya; sebagian lagi hanya
sekadar ingin tahu tentang
kisahnya. Akan tetapi, setiap
orang mampu merasakan
kedalaman cinta dan kasih
sayangnya kepada semua
makhluk. Salah seorang dari
pengunjung itu adalah seorang
ksatria gagah berani bernama
‘Amar, yang berjumpa dengan
Majnun dalam
perjalanannya menuju Mekah.
Meskipun ia sudah mendengar
kisah cinta yang sangat terkenal
itu di kotanya, ia ingin sekali
mendengarnya dari mulut
Majnun sendiri.
Drama kisah tragis itu
membuatnya sedemikian pilu
dan sedih sehingga ia bersumpah
dan bertekad melakukan apa
saja yang mungkin untuk
mempersatukan dua kekasih itu,
meskipun ini berarti
menghancurkan orang-orang
yang menghalanginya! Ketika
Amr kembali ke kota
kelahirannya, Ia pun
menghimpun pasukannya.
Pasukan
ini berangkat menuju desa Laila
dan menggempur suku di sana
tanpa ampun. Banyak orang
yang terbunuh atau terluka.
Ketika pasukan ‘Amr hampir
memenangkan pertempuran,
ayah Laila mengirimkan pesan
kepada ‘Amr, “Jika engkau atau
salah seorang dari prajuritmu
menginginkan putriku, aku akan
menyerahkannya tanpa
melawan. Bahkan, jika engkau
ingin membunuhnya, aku tidak
keberatan. Namun, ada satu hal
yang tidak akan pernah
bisa kuterima, jangan minta aku
untuk memberikan putriku pada
orang gila itu”. Majnun
mendengar pertempuran itu
hingga ia bergegas kesana. Di
medan pertempuran, Majnun
pergi ke sana kemari dengan
bebas di antara para prajurit dan
menghampiri orang-orang yang
terluka dari suku Laila. Ia
merawat mereka dengan penuh
perhatian dan melakukan apa
saja untuk meringankan luka
mereka.
Amr pun merasa heran kepada
Majnun, ketika ia meminta
penjelasan ihwal mengapa ia
membantu pasukan musuh,
Majnun menjawab, “Orang-
orang ini berasal dari desa
kekasihku. Bagaimana mungkin
aku bisa menjadi musuh
mereka?” Karena sedemikian
bersimpati kepada Majnun, ‘Amr
sama sekali tidak bisa memahami
hal ini. Apa yang dikatakan ayah
Laila tentang orang gila ini
akhirnya membuatnya sadar. Ia
pun memerintahkan pasukannya
untuk mundur dan segera
meninggalkan desa itu tanpa
mengucapkan sepatah kata pun
kepada Majnun.
Laila semakin merana dalam
penjara kamarnya sendiri. Satu-
satunya yang bisa ia nikmati
adalah berjalan-jalan di taman
bunganya. Suatu hari, dalam
perjalanannya menuju taman,
Ibn Salam, seorang bangsawan
kaya dan berkuasa, melihat Laila
dan serta-merta jatuh cinta
kepadanya. Tanpa menunda-
nunda lagi, ia segera mencari
ayah Laila. Merasa lelah dan
sedih hati karena pertempuran
yang baru saja menimbulkan
banyak orang terluka di
pihaknya, ayah Laila pun
menyetujui perkawinan itu.
Tentu saja, Laila menolak keras.
Ia mengatakan kepada ayahnya,
“Aku lebih senang mati
ketimbang kawin dengan orang
itu.” Akan tetapi, tangisan dan
permohonannya tidak digubris.
Lantas ia mendatangi ibunya,
tetapi sama saja keadaannya.
Perkawinan pun berlangsung
dalam waktu singkat. Orangtua
Laila merasa lega bahwa seluruh
cobaan berat akhirnya berakhir
juga.
Akan tetapi, Laila menegaskan
kepada suaminya bahwa ia tidak
pernah bisa mencintainya. “Aku
tidak akan pernah menjadi
seorang istri,” katanya. “Karena
itu, jangan membuang-buang
waktumu. Carilah seorang istri
yang lain. Aku yakin, masih ada
banyak wanita yang bisa
membuatmu bahagia.” Sekalipun
mendengar kata-kata dingin ini,
Ibn Salam percaya bahwa,
sesudah hidup bersamanya
beberapa waktu larnanya, pada
akhirnya Laila pasti akan
menerimanya. Ia tidak mau
memaksa Laila, melainkan
menunggunya untuk datang
kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan
Laila terdengar oleh Majnun, ia
menangis dan meratap selama
berhari-hari. Ia melantunkan
lagu-Iagu yang demikian
menyayat hati dan mengharu
biru kalbu sehingga semua orang
yang mendengarnya pun ikut
menangis. Derita dan
kepedihannya begitu berat
sehingga binatang-binatang yang
berkumpul di sekelilinginya pun
turut bersedih dan menangis.
Namun, kesedihannya ini tak
berlangsung lama, sebab tiba-
tiba Majnun merasakan
kedamaian dan ketenangan
batin yang aneh. Seolah-olah tak
terjadi apa-apa, ia pun terus
tinggal di reruntuhan itu.
Perasaannya kepada Laila tidak
berubah dan malah menjadi
semakin lebih dalam lagi.
Dengan penuh ketulusan,
Majnun menyampaikan ucapan
selamat kepada Laila atas
perkawinannya: “Semoga kalian
berdua selalu berbahagia di
dunia ini. Aku hanya meminta
satu hal sebagai tanda cintamu,
janganlah engkau lupakan
namaku, sekalipun engkau telah
memilih orang lain sebagai
pendampingmu. Janganlah
pernah lupa bahwa ada
seseorang yang, meskipun
tubuhnya hancur berkeping-
keping, hanya akan memanggil-
manggil namamu, Laila”.
Sebagai jawabannya, Laila
mengirimkan sebuah anting-
anting sebagai tanda pengabdian
tradisional. Dalam surat yang
disertakannya, ia mengatakan,
“Dalam hidupku, aku tidak bisa
melupakanmu barang sesaat
pun. Kupendam cintaku
demikian lama, tanpa mampu
menceritakannya kepada
siapapun. Engkau memaklumkan
cintamu
ke seluruh dunia, sementara aku
membakarnya di dalam hatiku,
dan engkau membakar segala
sesuatu yang ada di
sekelilingmu” . “Kini, aku harus
menghabiskan hidupku dengan
seseorang, padahal segenap
jiwaku menjadi milik orang lain.
Katakan kepadaku, kasih, mana
di antara kita yang lebih
dimabuk cinta, engkau ataukah
aku?.
Tahun demi tahun berlalu, dan
orang-tua Majnun pun
meninggal dunia. Ia tetap tinggal
di reruntuhan bangunan itu dan
merasa lebih kesepian ketimbang
sebelumnya. Di siang hari, ia
mengarungi gurun sahara
bersama sahabat-sahabat
binatangnya. Di malam hari, ia
memainkan serulingnya dan
melantunkan syair-syairnya
kepada berbagai binatang buas
yang kini menjadi satu-satunya
pendengarnya. Ia menulis syair-
syair untuk Laila dengan ranting
di atas tanah. Selang beberapa
lama, karena terbiasa dengan
cara hidup aneh ini, ia mencapai
kedamaian dan ketenangan
sedemikian rupa sehingga tak
ada sesuatu pun yang sanggup
mengusik dan mengganggunya.
Sebaliknya, Laila tetap setia pada
cintanya. Ibn Salam tidak pernah
berhasil mendekatinya.
Kendatipun ia hidup bersama
Laila, ia tetap jauh darinya.
Berlian dan hadiah-hadiah mahal
tak mampu membuat Laila
berbakti kepadanya. Ibn Salam
sudah tidak sanggup lagi
merebut kepercayaan dari
istrinya. Hidupnya serasa
pahit dan sia-sia. Ia tidak
menemukan ketenangan dan
kedamaian di rumahnya. Laila
dan Ibn Salam adalah dua orang
asing dan mereka tak pernah
merasakan hubungan suami istri.
Malahan, ia tidak bisa berbagi
kabar tentang dunia luar dengan
Laila.
Tak sepatah kata pun pernah
terdengar dari bibir Laila, kecuali
bila ia ditanya. Pertanyaan ini
pun dijawabnya dengan
sekadarnya saja dan sangat
singkat. Ketika akhirnya Ibn
Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa
bertahan, sebab hidupnya tidak
menjanjikan harapan lagi.
Akibatnya, pada suatu pagi di
musim panas, ia pun meninggal
dunia. Kematian suaminya
tampaknya makin mengaduk-
ngaduk perasaan Laila. Orang-
orang mengira bahwa ia
berkabung atas kematian Ibn
Salam, padahal sesungguhnya ia
menangisi kekasihnya, Majnun
yang hilang dan sudah lama
dirindukannya.
Selama bertahun-tahun, ia
menampakkan wajah tenang,
acuh tak acuh, dan hanya sekali
saja ia menangis. Kini, ia
menangis keras dan lama atas
perpisahannya dengan kekasih
satu-satunya. Ketika masa
berkabung usai, Laila kembali ke
rumah ayahnya. Meskipun masih
berusia muda, Laila tampak tua,
dewasa, dan bijaksana, yang
jarang dijumpai pada diri wanita
seusianya. Semen tara api
cintanya makin membara,
kesehatan Laila justru memudar
karena ia tidak lagi
memperhatikan dirinya sendiri. Ia
tidak mau makan dan juga tidak
tidur dengan baik selama
bermalam-malam.
Bagaimana ia bisa
memperhatikan kesehatan
dirinya kalau yang dipikirkannya
hanyalah Majnun semata? Laila
sendiri tahu betul bahwa ia tidak
akan sanggup bertahan lama.
Akhirnya, penyakit batuk parah
yang mengganggunya selama
beberapa bulan pun
menggerogoti kesehatannya.
Ketika Laila meregang nyawa
dan sekarat, ia masih memikirkan
Majnun. Ah, kalau saja ia bisa
berjumpa dengannya sekali lagi
untuk terakhir kalinya! Ia hanya
membuka matanya untuk
memandangi pintu kalau-kalau
kekasihnya datang. Namun, ia
sadar bahwa waktunya sudah
habis dan ia akan pergi tanpa
berhasil mengucapkan salam
perpisahan kepada Majnun.
Pada suatu malam di musim
dingin, dengan matanya tetap
menatap pintu, ia pun meninggal
dunia dengan tenang sambil
bergumam, Majnun…
Majnun. .Majnun.
Kabar tentang kematian Laila
menyebar ke segala penjuru
negeri dan, tak lama kemudian,
berita kematian Lailapun
terdengar oleh Majnun.
Mendengar kabar itu, ia pun
jatuh pingsan di tengah-tengah
gurun sahara dan tetap tak
sadarkan diri selama beberapa
hari. Ketika kembali sadar dan
siuman, ia segera pergi menuju
desa Laila. Nyaris tidak sanggup
berjalan lagi, ia menyeret
tubuhnya di atas tanah. Majnun
bergerak terus tanpa henti
hingga tiba di kuburan Laila di
luar kota . Ia berkabung
dikuburannya selama beberapa
hari.
Ketika tidak ditemukan cara lain
untuk meringankan beban
penderitaannya, per1ahan-lahan
ia meletakkan kepalanya di
kuburan Laila kekasihnya dan
meninggal dunia dengan tenang.
Jasad Majnun tetap berada di
atas kuburan Laila selama
setahun. Belum sampai setahun
peringatan kematiannya ketika
segenap sahabat dan
kerabat menziarahi kuburannya,
mereka menemukan sesosok
jasad terbujur di atas kuburan
Laila. Beberapa teman
sekolahnya mengenali dan
mengetahui bahwa itu adalah
jasad Majnun yang masih segar
seolah baru mati kemarin. Ia pun
dikubur di samping Laila. Tubuh
dua kekasih itu, yang kini bersatu
dalam keabadian, kini bersatu
kembali.
Konon, tak lama sesudah itu,
ada seorang Sufi bermimpi
melihat Majnun hadir di
hadapan Tuhan. Allah swt
membelai Majnun dengan penuh
kasih sayang dan
mendudukkannya disisi-Nya.Lalu,
Tuhan pun berkata kepada
Majnun, “Tidakkah engkau malu
memanggil-manggil- Ku dengan
nama Laila, sesudah engkau
meminum
anggur Cinta-Ku?”
Sang Sufi pun bangun dalam
keadaan gelisah. Jika Majnun
diperlakukan dengan sangat baik
dan penuh kasih oleh Allah
Subhana wa ta’alaa, ia pun
bertanya-tanya, lantas apa yang
terjadi pada Laila yang malang ?
Begitu pikiran ini terlintas dalam
benaknya, Allah swt pun
mengilhamkan jawaban
kepadanya, “Kedudukan Laila
jauh lebih tinggi, sebab ia
menyembunyikan segenap
rahasia Cinta dalam dirinya
sendiri.”
Wa min Allah at Tawfiq
____________________ Diambil dari Negeri Sufi ( Tales
from The Land of Sufis )