20110727

KAUTAMANING LAKU

.Wong eling ing ngelmu sarak
dalil sinung kamurahaning
Pangeran.
.Wong amrih rahayuning
sesaminira, sinung ayating
Pangeran.
. Angrawuhana ngelmu gaib,
nanging aja tinggal ngelmu sarak,
iku paraboting urip kang utama.
. Aja kurang pamariksanira lan
den agung pangapunira.
. Agawe kabecikan marang
sesaminira tumitah, agawea
sukaning manahe sesamaning
jalma.
. Aja duwe rumangsa bener
sarta becik, rumangsa ala sarta
luput, den agung,
panalangsanira ing Pangeran
Kang Maha Mulya, lamun sira
ngrasa bener lawan becik,
ginantungan bebenduning
Pangeran.
. Angenakena sarira, angayem-
ayema nalarira, aja
anggrangsang samubarang kang
sinedya, den prayitna barang
karya.
. Elinga marang Kang Murbeng
Jagad, aja pegat rina lan wengi.
. Atapaa geniara, tegese den
teguh yen krungu ujar ala.
. Atapaa banyuara, tegese
ngeli, basa ngeli iku nurut
saujaring liyan, datan nyulayani.
. Tapa ngluwat, tegese
mendhem atine aja ngatonake
kabecikane dhewe.
. Aprang Sabilillah, tegese
prang sabil iku, sajroning jajanira
priyangga ana prang Bratayudha,
prang ati ala lan ati becik.
__Oleh : eshat_madiun__

20110706

laila majnun

Alkisah, seorang kepala suku
Bani Umar di Jazirah Arab
memiIiki segala macam yang
diinginkan orang, kecuali satu
hal bahwa ia tak punya seorang
anakpun. Tabib-tabib di desa itu
menganjurkan berbagai macam
ramuan dan obat, tetapi tidak
berhasil. Ketika semua usaha
tampak tak berhasil, istrinya
menyarankan agar mereka
berdua bersujud di hadapan
Tuhan dan dengan tulus
memohon kepada Allah swt
memberikan anugerah kepada
mereka berdua. “Mengapa
tidak?” jawab sang kepala suku.
“Kita telah mencoba berbagai
macam cara. Mari, kita coba
sekali lagi, tak ada ruginya.”
Mereka pun bersujud kepada
Tuhan, sambil berurai air mata
dari relung hati mereka yang
terluka. “Wahai Segala Kekasih,
jangan biarkan pohon kami tak
berbuah. Izinkan kami
merasakan manisnya menimang
anak dalam pelukan kami.
Anugerahkan kepada kami
tanggung jawab untuk
membesarkan seorang manusia
yang baik. Berikan kesempatan
kepada kami untuk membuat-
Mu bangga akan anak kami.”
Tak lama kemudian, doa mereka
dikabulkan, dan Tuhan
menganugerahi mereka seorang
anak laki-laki yang diberi nama
Qais. Sang ayah sangat
berbahagia, sebab Qais dicintai
oleh semua orang. Ia tampan,
bermata besar, dan berambut
hitam, yang menjadi pusat
perhatian dan kekaguman. Sejak
awal, Qais telahmemperlihatkan
kecerdasan dan kemampuan fisik
istimewa. Ia punya bakat luar
biasa dalam mempelajari seni
berperang dan memainkan
musik, menggubah syair dan
melukis.
Ketika sudah cukup umur untuk
masuk sekolah, ayahnya
memutuskan membangun
sebuah sekolah yang indah
dengan guru-guru terbaik di
Arab yang mengajar di sana ,
dan hanya beberapa anak saja
yang belajar di situ. Anak-anak
lelaki dan perempuan dan
keluarga terpandang di seluruh
jazirah Arab belajar di sekolah
baru ini.
Di antara mereka ada seorang
anak perempuan dari kepala
suku tetangga. Seorang gadis
bermata indah, yang memiliki
kecantikan luar biasa. Rambut
dan matanya sehitam malam;
karena alasan inilah mereka
menyebutnya Laila-”Sang
Malam”. Meski ia baru berusia
dua belas tahun, sudah banyak
pria melamarnya untuk dinikahi,
sebab-sebagaimana lazimnya
kebiasaan di zaman itu, gadis-
gadis sering dilamar pada usia
yang masih sangat muda, yakni
sembilan tahun.
Laila dan Qais adalah teman
sekelas. Sejak hari pertama
masuk sekolah, mereka sudah
saling tertarik satu sama lain.
Seiring dengan berlalunya waktu,
percikan ketertarikan ini makin
lama menjadi api cinta yang
membara. Bagi mereka berdua,
sekolah bukan lagi tempat
belajar. Kini, sekolah menjadi
tempat mereka saling bertemu.
Ketika guru sedang mengajar,
mereka saling berpandangan.
Ketika tiba
waktunya menulis pelajaran,
mereka justru saling menulis
namanya di atas kertas. Bagi
mereka berdua, tak ada teman
atau kesenangan lainnya. Dunia
kini hanyalah milik Qais dan
Laila.
Mereka buta dan tuli pada yang
lainnya. Sedikit demi sedikit,
orang-orang mulai mengetahui
cinta mereka, dan gunjingan-
gunjingan pun mulai terdengar.
Di zaman itu, tidaklah pantas
seorang gadis dikenal sebagai
sasaran cinta seseorang dan
sudah pasti mereka tidak akan
menanggapinya. Ketika orang-
tua Laila mendengar bisik-bisik
tentang anak gadis mereka,
mereka pun melarangnya pergi
ke sekolah. Mereka tak sanggup
lagi menahan beban malu pada
masyarakat sekitar.
Ketika Laila tidak ada di ruang
kelas, Qais menjadi sangat
gelisah sehingga ia meninggalkan
sekolah dan menyelusuri jalan-
jalan untuk mencari kekasihnya
dengan memanggil-manggil
namanya. Ia menggubah syair
untuknya dan membacakannya
di jalan-jalan. Ia hanya berbicara
tentang Laila dan tidak juga
menjawab pertanyaan orang-
orang kecuali bila mereka
bertanya tentang Laila. Orang-
orang pun tertawa dan berkata,
” Lihatlah Qais , ia sekarang
telah menjadi seorang majnun,
gila!”
Akhirnya, Qais dikenal dengan
nama ini, yakni “Majnun”.
Melihat orang-orang dan
mendengarkan mereka berbicara
membuat Majnun tidak tahan. Ia
hanya ingin melihat dan
berjumpa dengan Laila
kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila
telah dipingit oleh orang tuanya
di rumah, yang dengan bijaksana
menyadari bahwa jika Laila
dibiarkan bebas bepergian, ia
pasti akan menjumpai Majnun.
Majnun menemukan sebuah
tempat di puncak bukit dekat
desa Laila dan membangun
sebuah gubuk untuk dirinya
yang menghadap rumah Laila.
Sepanjang hari Majnun duduk-
duduk di depan gubuknya,
disamping sungai kecil berkelok
yang mengalir ke bawah menuju
desa itu. Ia berbicara kepada air,
menghanyutkan dedaunan
bunga liar, dan Majnun merasa
yakin bahwa sungai itu akan
menyampaikan pesan cintanya
kepada Laila. Ia menyapa
burung-burung dan meminta
mereka untuk terbang kepada
Laila serta memberitahunya
bahwa ia dekat.
Ia menghirup angin dari barat
yang melewati desa Laila. Jika
kebetulan ada seekor anjing
tersesat yang berasal dari desa
Laila, ia pun memberinya makan
dan merawatnya, mencintainya
seolah-olah anjing suci,
menghormatinya dan
menjaganya sampai tiba saatnya
anjing itu pergi jika memang mau
demikian. Segala sesuatu yang
berasal dari tempat kekasihnya
dikasihi dan disayangi sama
seperti kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan berlalu dan
Majnun tidak menemukan jejak
Laila. Kerinduannya kepada Laila
demikian besar sehingga ia
merasa tidak bisa hidup sehari
pun tanpa melihatnya kembali.
Terkadang sahabat-sahabatnya
di sekolah dulu datang
mengunjunginya, tetapi ia
berbicara kepada mereka hanya
tentang Laila, tentang betapa ia
sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki,
sahabatnya yang datang
mengunjunginya demikian
terharu oleh penderitaan dan
kepedihan Majnun sehingga
mereka bertekad embantunya
untuk berjumpa kembali dengan
Laila. Rencana mereka sangat
cerdik. Esoknya, mereka dan
Majnun mendekati rumah Laila
dengan menyamar sebagai
wanita. Dengan mudah mereka
melewati wanita-wanita
pembantu dirumah Laila dan
berhasil masuk ke pintu
kamarnya.
Majnun masuk ke kamar,
sementara yang lain berada di
luar berjaga-jaga. Sejak ia
berhenti masuk sekolah, Laila
tidak melakukan apapun kecuali
memikirkan Qais. Yang cukup
mengherankan, setiap kali ia
mendengar burung-burung
berkicau dari jendela atau angin
berhembus semilir, ia
memejamkan.matanya sembari
membayangkan bahwa ia
mendengar suara Qais
didalamnya. Ia akan mengambil
dedaunan dan bunga yang
dibawa oleh angin atau sungai
dan tahu bahwa semuanya itu
berasal dari Qais. Hanya saja, ia
tak pernah berbicara kepada
siapa pun, bahkan juga kepada
sahabat-sahabat terbaiknya,
tentang cintanya.
Pada hari ketika Majnun masuk
ke kamar Laila, ia merasakan
kehadiran dan kedatangannya.
Ia mengenakan pakaian sutra
yang sangat bagus dan indah.
Rambutnya dibiarkan lepas
tergerai dan disisir dengan rapi di
sekitar bahunya. Matanya diberi
celak hitam, sebagaimana
kebiasaan wanita Arab, dengan
bedak hitam yang disebut
surmeh. Bibirnya diberi lipstick
merah, dan pipinya yang
kemerah-merahan tampak
menyala serta menampakkan
kegembiraannya. Ia duduk di
depan pintu dan menunggu.
Ketika Majnun masuk, Laila tetap
duduk. Sekalipun sudah
diberitahu bahwa Majnun akan
datang, ia tidak percaya bahwa
pertemuan itu benar-benar
terjadi. Majnun berdiri di pintu
selama beberapa menit,
memandangi, sepuas-puasnya
wajah Laila. Akhirnya, mereka
bersama lagi! Tak terdengar
sepatah kata pun, kecuali
detak jantung kedua orang yang
dimabuk cinta ini. Mereka saling
berpandangan dan lupa waktu.
Salah seorang wanita pembantu
di rumah itu melihat sahabat-
sahabat Majnun di luar kamar
tuan putrinya. Ia mulai curiga
dan memberi isyarat kepada
salah seorang pengawal. Namun,
ketika ibu Laila datang
menyelidiki, Majnun dan kawan-
kawannya sudah jauh pergi.
Sesudah orang-tuanya bertanya
kepada Laila,
maka tidak sulit bagi mereka
mengetahui apa yang telah
terjadi. Kebisuan dan
kebahagiaan yang terpancar
dimatanya menceritakan segala
sesuatunya.
Sesudah terjadi peristiwa itu,
ayah Laila menempatkan para
pengawal di setiap pintu di
rumahnya. Tidak ada jalan lain
bagi Majnun untuk menghampiri
rumah Laila, bahkan dari
kejauhan sekalipun. Akan tetapi
jika ayahnya berpikiran bahwa,
dengan bertindak hati-hati ini ia
bisa mengubah perasaan Laila
dan Majnun, satu sama
lain, sungguh ia salah besar.
Ketika ayah Majnun tahu
tentang peristiwa di rumah Laila,
ia memutuskan untuk
mengakhiri drama itu dengan
melamar Laila untuk anaknya. Ia
menyiapkan sebuah kafilah
penuh dengan hadiah dan
mengirimkannya ke desa Laila.
Sang tamu pun disambut dengan
sangat baik, dan kedua kepala
suku itu berbincang-bincang
tentang kebahagiaan anak-anak
mereka. Ayah Majnun lebih dulu
berkata, “Engkau tahu benar,
kawan, bahwa ada dua hal yang
sangat penting bagi kebahagiaan,
yaitu “Cinta dan Kekayaan”.
Anak lelakiku mencintai anak
perempuanmu, dan aku bisa
memastikan bahwa aku sanggup
memberi mereka cukup banyak
uang untuk mengarungi
kehidupan yang bahagia dan
menyenangkan. Mendengar hal
itu, ayah Laila pun menjawab,
“Bukannya aku menolak Qais.
Aku percaya kepadamu, sebab
engkau pastilah seorang mulia
dan
terhormat,” jawab ayah Laila.
“Akan tetapi, engkau tidak bisa
menyalahkanku kalau aku
berhati-hati dengan anakmu.
Semua orang tahu perilaku
abnormalnya. Ia berpakaian
seperti seorang pengemis. Ia
pasti sudah lama tidak mandi
dan iapun hidup bersama
hewan-hewan dan menjauhi
orang banyak. “Tolong katakan
kawan, jika engkau punya anak
perempuan dan engkau berada
dalam posisiku, akankah engkau
memberikan anak
perempuanmu kepada anakku?”
Ayah Qais tak dapat
membantah. Apa yang bisa
dikatakannya? Padahal, dulu
anaknya adalah teladan utama
bagi kawan-kawan sebayanya?
Dahulu Qais adalah anak yang
paling cerdas dan berbakat di
seantero Arab? Tentu saja, tidak
ada yang dapat dikatakannya.
Bahkan, sang ayahnya sendiri
susah untuk mempercayainya.
Sudah lama orang tidak
mendengar ucapan bermakna
dari Majnun. “Aku tidak akan
diam berpangku tangan dan
melihat anakku menghancurkan
dirinya sendiri,” pikirnya. “Aku
harus melakukan sesuatu.”
Ketika ayah Majnun kembali
pulang, ia menjemput anaknya,
Ia mengadakan pesta makan
malam untuk menghormati
anaknya. Dalam jamuan pesta
makan malam itu, gadis-gadis
tercantik di seluruh negeri pun
diundang. Mereka pasti bisa
mengalihkan perhatian Majnun
dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta
itu, Majnun
diam dan tidak mempedulikan
tamu-tamu lainnya. Ia duduk di
sebuah sudut ruangan sambil
melihat gadis-gadis itu hanya
untuk mencari pada diri mereka
berbagai kesamaan dengan yang
dimiliki Laila.
Seorang gadis mengenakan
pakaian yang sama dengan milik
Laila; yang lainnya punya rambut
panjang seperti Laila, dan yang
lainnya lagi punya senyum mirip
Laila. Namun, tak ada seorang
gadis pun yang benar-benar
mirip dengannya,Malahan, tak
ada seorang pun yang memiliki
separuh kecantikan Laila. Pesta
itu hanya menambah kepedihan
perasaan Majnun saja kepada
kekasihnya. Ia pun berang dan
marah serta menyalahkan setiap
orang di pesta itu lantaran
berusaha mengelabuinya.
Dengan berurai air mata,
Majnun menuduh orang-tuanya
dan sahabat-sahabatnya sebagai
berlaku kasar dan kejam
kepadanya. Ia menangis
sedemikian hebat hingga
akhirnya jatuh ke lantai dalam
keadaan pingsan. Sesudah terjadi
petaka ini, ayahnya memutuskan
agar Qais dikirim untuk
menunaikan ibadah haji ke
Mekah
dengan harapan bahwa Allah
akan merahmatinya dan
membebaskannya dari cinta yang
menghancurkan ini.
Di Makkah, untuk
menyenangkan ayahnya, Majnun
bersujud di depan altar Kabah,
tetapi apa yang ia mohonkan?
“Wahai Yang Maha Pengasih,
Raja Diraja Para Pecinta, Engkau
yang menganugerahkan cinta,
aku hanya mohon kepada-Mu
satu hal saja,”Tinggikanlah
cintaku sedemikian rupa
sehingga, sekalipun aku binasa,
cintaku dan kekasihku tetap
hidup.” Ayahnya kemudian tahu
bahwa tak ada lagi yang bisa ia
lakukan untuk anaknya.
Usai menunaikan ibadah haji,
Majnun yang tidak mau lagi
bergaul dengan orang banyak di
desanya, pergi ke pegunungan
tanpa memberitahu di mana ia
berada. Ia tidak kembali ke
gubuknya. Alih-alih tinggal
dirumah, ia memilih tinggal
direruntuhan sebuah bangunan
tua yang terasing dari
masyarakat dan tinggal
didalamnya. Sesudah itu, tak ada
seorang pun yang mendengar
kabar tentang Majnun. Orang-
tuanya mengirim segenap
sahabat dan keluarganya untuk
mencarinya. Namun, tak seorang
pun berhasil menemukannya.
Banyak orang berkesimpulan
bahwa Majnun dibunuh oleh
binatang-binatang gurun sahara.
Ia bagai hilang ditelan bumi.
Suatu hari, seorang musafir
melewati reruntuhan bangunan
itu dan melihat ada sesosok
aneh yang duduk di salah
sebuah tembok yang hancur.
Seorang liar denganrambut
panjang hingga ke bahu,
jenggotnya panjang dan acak-
acakan, bajunya compang-
camping dan kumal. Ketika sang
musafir mengucapkan salam dan
tidak
beroleh jawaban, ia
mendekatinya. Ia melihat ada
seekor serigala tidur di kakinya.
“Hus” katanya, ‘Jangan
bangunkan sahabatku.”
Kemudian, ia mengedarkan
pandangan ke arah kejauhan.
Sang musafir pun duduk di situ
dengan tenang. Ia menunggu
dan ingin tahu apa yang akan
terjadi. Akhimya, orang liar itu
berbicara. Segera saja ia pun
tahu bahwa ini adalah Majnun
yang terkenal itu, yang berbagai
macam perilaku anehnya
dibicarakan orang di seluruh
jazirah Arab. Tampaknya,
Majnun tidak kesulitan
menyesuaikan diri dengan
kehidupan dengan binatang-
binatang buas dan liar. Dalam
kenyataannya, ia sudah
menyesuaikan diri dengan sangat
baik sehingga lumrah-lumrah
saja melihat dirinya sebagai
bagian dari kehidupan liar dan
buas itu.
Berbagai macam binatang
tertarik kepadanya, karena
secara naluri mengetahui bahwa
Majnun tidak akan
mencelakakan mereka. Bahkan,
binatang-binatang buas seperti
serigala sekalipun percaya pada
kebaikan dan kasih sayang
Majnun. Sang musafir itu
mendengarkan Majnun
melantunkan berbagai kidung
pujiannya pada
Laila. Mereka berbagi sepotong
roti yang diberikan olehnya.
Kemudian, sang musafir itu pergi
dan melanjutkan petjalanannya.
Ketika tiba di desa Majnun, ia
menuturkan kisahnya pada
orang-orang. Akhimya, sang
kepala suku, ayah Majnun,
mendengar berita itu. Ia
mengundang sang musafir ke
rumahnya dan meminta
keteransran rinci darinya. Merasa
sangat gembira dan bahagia
bahwa Majnun masih hidup,
ayahnya pergi ke gurun sahara
untuk menjemputnya.
Ketika melihat reruntuhan
bangunan yang dilukiskan oleh
sang musafir itu, ayah Majnun
dicekam oleh emosi dan
kesedihan yang luar biasa.
Betapa tidak! Anaknya
terjerembab dalam keadaan
mengenaskan seperti ini. “Ya
Tuhanku, aku mohon agar
Engkau menyelamatkan anakku
dan mengembalikannya ke
keluarga kami,” jerit sang
ayah menyayat hati. Majnun
mendengar doa ayahnya dan
segera keluar dari tempat
persembunyiannya. Dengan
bersimpuh dibawah kaki
ayahnya, ia pun menangis,
“Wahai ayah, ampunilah aku
atas segala kepedihan yang
kutimbulkan pada dirimu. Tolong
lupakan bahwa engkau pernah
mempunyai seorang anak, sebab
ini akan meringankan beban
kesedihan ayah. Ini sudah
nasibku mencinta, dan hidup
hanya untuk mencinta.” Ayah
dan anak pun saling berpelukan
dan menangis. Inilah pertemuan
terakhir mereka.
Keluarga Laila menyalahkan
ayah Laila lantaran salah dan
gagal menangani situasi putrinya.
Mereka yakin bahwa peristiwa itu
telah mempermalukan seluruh
keluarga. Karenanya, orangtua
Laila memingitnya dalam
kamamya. Beberapa sahabat
Laila diizinkan untuk
mengunjunginya, tetapi ia tidak
ingin ditemani. Ia berpaling
kedalam hatinya, memelihara api
cinta yang membakar dalam
kalbunya. Untuk
mengungkapkan segenap
perasaannya yang terdalam, ia
menulis dan menggubah syair
kepada kekasihnya pada
potongan-potongan kertas kecil.
Kemudian, ketika ia
diperbolehkan menyendiri di
taman, ia pun menerbangkan
potongan-potongan kertas
kecil ini dalam hembusan angin.
Orang-orang yang menemukan
syair-syair dalam potongan-
potongan kertas kecil itu
membawanya kepada Majnun.
Dengan cara demikian, dua
kekasih itu masih bisa menjalin
hubungan.
Karena Majnun sangat terkenal
di seluruh negeri, banyak orang
datang mengunjunginya. Namun,
mereka hanya berkunjung
sebentar saja, karena mereka
tahu bahwa Majnun tidak kuat
lama dikunjungi banyak orang.
Mereka mendengarkannya
melantunkan syair-syair indah
dan memainkan serulingnya
dengan sangat memukau.
Sebagian orang merasa iba
kepadanya; sebagian lagi hanya
sekadar ingin tahu tentang
kisahnya. Akan tetapi, setiap
orang mampu merasakan
kedalaman cinta dan kasih
sayangnya kepada semua
makhluk. Salah seorang dari
pengunjung itu adalah seorang
ksatria gagah berani bernama
‘Amar, yang berjumpa dengan
Majnun dalam
perjalanannya menuju Mekah.
Meskipun ia sudah mendengar
kisah cinta yang sangat terkenal
itu di kotanya, ia ingin sekali
mendengarnya dari mulut
Majnun sendiri.
Drama kisah tragis itu
membuatnya sedemikian pilu
dan sedih sehingga ia bersumpah
dan bertekad melakukan apa
saja yang mungkin untuk
mempersatukan dua kekasih itu,
meskipun ini berarti
menghancurkan orang-orang
yang menghalanginya! Ketika
Amr kembali ke kota
kelahirannya, Ia pun
menghimpun pasukannya.
Pasukan
ini berangkat menuju desa Laila
dan menggempur suku di sana
tanpa ampun. Banyak orang
yang terbunuh atau terluka.
Ketika pasukan ‘Amr hampir
memenangkan pertempuran,
ayah Laila mengirimkan pesan
kepada ‘Amr, “Jika engkau atau
salah seorang dari prajuritmu
menginginkan putriku, aku akan
menyerahkannya tanpa
melawan. Bahkan, jika engkau
ingin membunuhnya, aku tidak
keberatan. Namun, ada satu hal
yang tidak akan pernah
bisa kuterima, jangan minta aku
untuk memberikan putriku pada
orang gila itu”. Majnun
mendengar pertempuran itu
hingga ia bergegas kesana. Di
medan pertempuran, Majnun
pergi ke sana kemari dengan
bebas di antara para prajurit dan
menghampiri orang-orang yang
terluka dari suku Laila. Ia
merawat mereka dengan penuh
perhatian dan melakukan apa
saja untuk meringankan luka
mereka.
Amr pun merasa heran kepada
Majnun, ketika ia meminta
penjelasan ihwal mengapa ia
membantu pasukan musuh,
Majnun menjawab, “Orang-
orang ini berasal dari desa
kekasihku. Bagaimana mungkin
aku bisa menjadi musuh
mereka?” Karena sedemikian
bersimpati kepada Majnun, ‘Amr
sama sekali tidak bisa memahami
hal ini. Apa yang dikatakan ayah
Laila tentang orang gila ini
akhirnya membuatnya sadar. Ia
pun memerintahkan pasukannya
untuk mundur dan segera
meninggalkan desa itu tanpa
mengucapkan sepatah kata pun
kepada Majnun.
Laila semakin merana dalam
penjara kamarnya sendiri. Satu-
satunya yang bisa ia nikmati
adalah berjalan-jalan di taman
bunganya. Suatu hari, dalam
perjalanannya menuju taman,
Ibn Salam, seorang bangsawan
kaya dan berkuasa, melihat Laila
dan serta-merta jatuh cinta
kepadanya. Tanpa menunda-
nunda lagi, ia segera mencari
ayah Laila. Merasa lelah dan
sedih hati karena pertempuran
yang baru saja menimbulkan
banyak orang terluka di
pihaknya, ayah Laila pun
menyetujui perkawinan itu.
Tentu saja, Laila menolak keras.
Ia mengatakan kepada ayahnya,
“Aku lebih senang mati
ketimbang kawin dengan orang
itu.” Akan tetapi, tangisan dan
permohonannya tidak digubris.
Lantas ia mendatangi ibunya,
tetapi sama saja keadaannya.
Perkawinan pun berlangsung
dalam waktu singkat. Orangtua
Laila merasa lega bahwa seluruh
cobaan berat akhirnya berakhir
juga.
Akan tetapi, Laila menegaskan
kepada suaminya bahwa ia tidak
pernah bisa mencintainya. “Aku
tidak akan pernah menjadi
seorang istri,” katanya. “Karena
itu, jangan membuang-buang
waktumu. Carilah seorang istri
yang lain. Aku yakin, masih ada
banyak wanita yang bisa
membuatmu bahagia.” Sekalipun
mendengar kata-kata dingin ini,
Ibn Salam percaya bahwa,
sesudah hidup bersamanya
beberapa waktu larnanya, pada
akhirnya Laila pasti akan
menerimanya. Ia tidak mau
memaksa Laila, melainkan
menunggunya untuk datang
kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan
Laila terdengar oleh Majnun, ia
menangis dan meratap selama
berhari-hari. Ia melantunkan
lagu-Iagu yang demikian
menyayat hati dan mengharu
biru kalbu sehingga semua orang
yang mendengarnya pun ikut
menangis. Derita dan
kepedihannya begitu berat
sehingga binatang-binatang yang
berkumpul di sekelilinginya pun
turut bersedih dan menangis.
Namun, kesedihannya ini tak
berlangsung lama, sebab tiba-
tiba Majnun merasakan
kedamaian dan ketenangan
batin yang aneh. Seolah-olah tak
terjadi apa-apa, ia pun terus
tinggal di reruntuhan itu.
Perasaannya kepada Laila tidak
berubah dan malah menjadi
semakin lebih dalam lagi.
Dengan penuh ketulusan,
Majnun menyampaikan ucapan
selamat kepada Laila atas
perkawinannya: “Semoga kalian
berdua selalu berbahagia di
dunia ini. Aku hanya meminta
satu hal sebagai tanda cintamu,
janganlah engkau lupakan
namaku, sekalipun engkau telah
memilih orang lain sebagai
pendampingmu. Janganlah
pernah lupa bahwa ada
seseorang yang, meskipun
tubuhnya hancur berkeping-
keping, hanya akan memanggil-
manggil namamu, Laila”.
Sebagai jawabannya, Laila
mengirimkan sebuah anting-
anting sebagai tanda pengabdian
tradisional. Dalam surat yang
disertakannya, ia mengatakan,
“Dalam hidupku, aku tidak bisa
melupakanmu barang sesaat
pun. Kupendam cintaku
demikian lama, tanpa mampu
menceritakannya kepada
siapapun. Engkau memaklumkan
cintamu
ke seluruh dunia, sementara aku
membakarnya di dalam hatiku,
dan engkau membakar segala
sesuatu yang ada di
sekelilingmu” . “Kini, aku harus
menghabiskan hidupku dengan
seseorang, padahal segenap
jiwaku menjadi milik orang lain.
Katakan kepadaku, kasih, mana
di antara kita yang lebih
dimabuk cinta, engkau ataukah
aku?.
Tahun demi tahun berlalu, dan
orang-tua Majnun pun
meninggal dunia. Ia tetap tinggal
di reruntuhan bangunan itu dan
merasa lebih kesepian ketimbang
sebelumnya. Di siang hari, ia
mengarungi gurun sahara
bersama sahabat-sahabat
binatangnya. Di malam hari, ia
memainkan serulingnya dan
melantunkan syair-syairnya
kepada berbagai binatang buas
yang kini menjadi satu-satunya
pendengarnya. Ia menulis syair-
syair untuk Laila dengan ranting
di atas tanah. Selang beberapa
lama, karena terbiasa dengan
cara hidup aneh ini, ia mencapai
kedamaian dan ketenangan
sedemikian rupa sehingga tak
ada sesuatu pun yang sanggup
mengusik dan mengganggunya.
Sebaliknya, Laila tetap setia pada
cintanya. Ibn Salam tidak pernah
berhasil mendekatinya.
Kendatipun ia hidup bersama
Laila, ia tetap jauh darinya.
Berlian dan hadiah-hadiah mahal
tak mampu membuat Laila
berbakti kepadanya. Ibn Salam
sudah tidak sanggup lagi
merebut kepercayaan dari
istrinya. Hidupnya serasa
pahit dan sia-sia. Ia tidak
menemukan ketenangan dan
kedamaian di rumahnya. Laila
dan Ibn Salam adalah dua orang
asing dan mereka tak pernah
merasakan hubungan suami istri.
Malahan, ia tidak bisa berbagi
kabar tentang dunia luar dengan
Laila.
Tak sepatah kata pun pernah
terdengar dari bibir Laila, kecuali
bila ia ditanya. Pertanyaan ini
pun dijawabnya dengan
sekadarnya saja dan sangat
singkat. Ketika akhirnya Ibn
Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa
bertahan, sebab hidupnya tidak
menjanjikan harapan lagi.
Akibatnya, pada suatu pagi di
musim panas, ia pun meninggal
dunia. Kematian suaminya
tampaknya makin mengaduk-
ngaduk perasaan Laila. Orang-
orang mengira bahwa ia
berkabung atas kematian Ibn
Salam, padahal sesungguhnya ia
menangisi kekasihnya, Majnun
yang hilang dan sudah lama
dirindukannya.
Selama bertahun-tahun, ia
menampakkan wajah tenang,
acuh tak acuh, dan hanya sekali
saja ia menangis. Kini, ia
menangis keras dan lama atas
perpisahannya dengan kekasih
satu-satunya. Ketika masa
berkabung usai, Laila kembali ke
rumah ayahnya. Meskipun masih
berusia muda, Laila tampak tua,
dewasa, dan bijaksana, yang
jarang dijumpai pada diri wanita
seusianya. Semen tara api
cintanya makin membara,
kesehatan Laila justru memudar
karena ia tidak lagi
memperhatikan dirinya sendiri. Ia
tidak mau makan dan juga tidak
tidur dengan baik selama
bermalam-malam.
Bagaimana ia bisa
memperhatikan kesehatan
dirinya kalau yang dipikirkannya
hanyalah Majnun semata? Laila
sendiri tahu betul bahwa ia tidak
akan sanggup bertahan lama.
Akhirnya, penyakit batuk parah
yang mengganggunya selama
beberapa bulan pun
menggerogoti kesehatannya.
Ketika Laila meregang nyawa
dan sekarat, ia masih memikirkan
Majnun. Ah, kalau saja ia bisa
berjumpa dengannya sekali lagi
untuk terakhir kalinya! Ia hanya
membuka matanya untuk
memandangi pintu kalau-kalau
kekasihnya datang. Namun, ia
sadar bahwa waktunya sudah
habis dan ia akan pergi tanpa
berhasil mengucapkan salam
perpisahan kepada Majnun.
Pada suatu malam di musim
dingin, dengan matanya tetap
menatap pintu, ia pun meninggal
dunia dengan tenang sambil
bergumam, Majnun…
Majnun. .Majnun.
Kabar tentang kematian Laila
menyebar ke segala penjuru
negeri dan, tak lama kemudian,
berita kematian Lailapun
terdengar oleh Majnun.
Mendengar kabar itu, ia pun
jatuh pingsan di tengah-tengah
gurun sahara dan tetap tak
sadarkan diri selama beberapa
hari. Ketika kembali sadar dan
siuman, ia segera pergi menuju
desa Laila. Nyaris tidak sanggup
berjalan lagi, ia menyeret
tubuhnya di atas tanah. Majnun
bergerak terus tanpa henti
hingga tiba di kuburan Laila di
luar kota . Ia berkabung
dikuburannya selama beberapa
hari.
Ketika tidak ditemukan cara lain
untuk meringankan beban
penderitaannya, per1ahan-lahan
ia meletakkan kepalanya di
kuburan Laila kekasihnya dan
meninggal dunia dengan tenang.
Jasad Majnun tetap berada di
atas kuburan Laila selama
setahun. Belum sampai setahun
peringatan kematiannya ketika
segenap sahabat dan
kerabat menziarahi kuburannya,
mereka menemukan sesosok
jasad terbujur di atas kuburan
Laila. Beberapa teman
sekolahnya mengenali dan
mengetahui bahwa itu adalah
jasad Majnun yang masih segar
seolah baru mati kemarin. Ia pun
dikubur di samping Laila. Tubuh
dua kekasih itu, yang kini bersatu
dalam keabadian, kini bersatu
kembali.
Konon, tak lama sesudah itu,
ada seorang Sufi bermimpi
melihat Majnun hadir di
hadapan Tuhan. Allah swt
membelai Majnun dengan penuh
kasih sayang dan
mendudukkannya disisi-Nya.Lalu,
Tuhan pun berkata kepada
Majnun, “Tidakkah engkau malu
memanggil-manggil- Ku dengan
nama Laila, sesudah engkau
meminum
anggur Cinta-Ku?”
Sang Sufi pun bangun dalam
keadaan gelisah. Jika Majnun
diperlakukan dengan sangat baik
dan penuh kasih oleh Allah
Subhana wa ta’alaa, ia pun
bertanya-tanya, lantas apa yang
terjadi pada Laila yang malang ?
Begitu pikiran ini terlintas dalam
benaknya, Allah swt pun
mengilhamkan jawaban
kepadanya, “Kedudukan Laila
jauh lebih tinggi, sebab ia
menyembunyikan segenap
rahasia Cinta dalam dirinya
sendiri.”
Wa min Allah at Tawfiq
____________________ Diambil dari Negeri Sufi ( Tales
from The Land of Sufis )

wukir mahendra (LAWU)

Gunung Lawu memiliki tiga
puncak, Puncak Hargo Dalem,
Hargo Dumiling dan Hargo
Dumilah. Yang terakhir ini adalah
puncak tertinggi.Gunung Lawu
(3.265 m) terletak di Pulau
Jawa, Indonesia, tepatnya di
perbatasan Provinsi Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Status gunung
ini adalah gunung api “istirahat”
dan telah lama tidak aktif,
terlihat dari rapatnya vegetasi
serta puncaknya yang tererosi. Di
lerengnya terdapat kepundan
kecil yang masih mengeluarkan
uap air (fumarol) dan belerang
(solfatara). Gunung Lawu
mempunyai kawasan hutan
Dipterokarp Bukit, hutan
Dipterokarp Atas, hutan
Montane, dan hutan
Ericaceous.Gunung Lawu sangat
populer untuk kegiatan
pendakian. Setiap malam 1 Sura
banyak orang berziarah dengan
mendaki hingga ke puncak.
Karena populernya, di puncak
gunung bahkan dapat dijumpai
pedagang makanan.Gunung
Lawu menyimpan misteri pada
masing-masing dari tiga puncak
utamanya dan menjadi tempat
yang dimitoskan sebagai tempat
sakral di Tanah Jawa.
Mitosnya Cerita dimulai dari
masa akhir kerajaan Majapahit
(1400 M). Alkisah, pada masa
kemunduran kerajaan Majapahit,
bertahta sebagai raja adalah
Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya
Ingkang Jumeneng kaping 5
(Pamungkas). Dua istrinya yang
terkenal ialah Dara Petak putri
dari daratan Tiongkok dan Dara
Jingga. Dari Dara Petak lahir
putra Raden Jinbun Fatah, dari
Dara Jingga lahir putra Pangeran
Katong.
Raden Jinbun Fatah (Raden
Fatah)setelah dewasa
menghayati keyakinan yang
berbeda dengan ayahandanya
yang beragama Budha.Raden
Jinbun Fatah seorang muslim.
Dan bersamaan dengan
pudarnya Majapahit,Raden
Jinbun Fatah mendirikan
Kerajaan di Glagah Wangi
(Demak). Melihat situasi dan
kondisi yang demikian itu ,
masygullah hati Sang Prabu.
Akankah jaman Kerta Majapahit
dapat dipertahankan?
Sebagai raja yang bijak, pada
suatu malam, dia pun akhirnya
bermeditasi memohon petunjuk
Sang Maha Kuasa. Dan wisik pun
datang, pesannya : sudah
saatnya cahaya Majapahit
memudar dan wahyu kedaton
akan berpindah ke kerajaan
yang baru tumbuh serta
masuknya agama baru (Islam)
memang sudah takdir dan tak
bisa terelakkan lagi.
Pada malam itu pulalah Sang
Prabu dengan hanya disertai
pemomongnya yang setia
Sabdopalon diam-diam
meninggalkan keraton dan
melanglang praja dan pada
akhirnya naik ke Puncak Lawu.
Sebelum sampai di puncak, dia
bertemu dengan dua orang
umbul (bayan/ kepala dusun)
yakni Dipa Menggala dan
Wangsa Menggala. Sebagai abdi
dalem yang setia dua orang
umbul itu pun tak tega
membiarkan tuannya begitu saja.
Niat di hati mereka adalah mukti
mati bersama Sang Prabu .
Syahdan, Sang Prabu bersama
tiga orang abdi itupun sampailan
di puncak Harga Dalem.
Saat itu Sang Prabu bertitah :
Wahai para abdiku yang setia
sudah saatnya aku harus surut,
aku harus muksa dan
meninggalkan dunia ramai ini.
Kepada kamu Dipa Menggala,
karena kesetiaanmu kuangkat
kau menjadi penguasa gunung
Lawu dan membawahi semua
mahluk gaib dengan wilayah ke
barat hingga wilayah Merapi/
Merbabu, ke Timur hingga
gunung Wilis, ke selatan hingga
Pantai selatan , dan ke utara
sampai dengan pantai utara
dengan gelar Sunan Gunung
Lawu. Dan kepada Wangsa
Menggala, kau kuangkat sebagai
patihnya, dengan gelar Kyai
Jalak.
Suasana pun hening dan melihat
drama semacam itu, tak kuasa
menahan gejolak di hatinya,
Sabdopalon pun memberanikan
diri berkata kepada Sang Prabu:
Bagaimana mungkin ini terjadi
Sang Prabu? Bila demikian
adanya hamba pun juga pamit
berpisah dengan Sang Prabu,
hamba akan naik ke Harga
Dumiling dan meninggalkan
Sang Prabu di sini. Dan dua
orang tuan dan abdi itupun
berpisah dalam suasana yang
mengharukan.
Singkat cerita Sang Prabu
Barawijaya pun muksa di Harga
Dalem, dan Sabdopalon moksa
di Harga Dumiling. Tinggalah
Sunan Lawu Sang Penguasa
gunung dan Kyai Jalak yang
karena kesaktian dan
kesempurnaan ilmunya
kemudian menjadi mahluk gaib
yang hingga kini masih setia
melaksanakan tugas sesuai
amanat Sang Prabu Brawijaya.
Tempat-tempat lain yang diyakini
misterius oleh penduduk
setempat selain tiga puncak
tersebut yakni: Sendang Inten,
Sendang Drajat, Sendang
Panguripan, Sumur Jalatunda,
Kawah Candradimuka, Repat
Kepanasan/Cakrasurya, dan
Pringgodani. Bagaimana situasi
Majapahit sepeninggak Sang
Prabu? Konon sebagai yang
menjalankan tugas kerajan
adalah Pangeran Katong. Figur
ini dimitoskan sebagai orang
yang sakti dan konon juga
muksa di Ponorogo yang juga
masih wilayah gunung
Lawu . ___Dikutip dari: www.merapi.merbabu.com___