20110629

Haruskah menyembunyikan rasa cinta?

Haruskah menyembunyikan rasa
cinta (kecuali kepada kekasih)?
Tidak bolehkah mengekspresikan
cinta? Mengapa? Bagaimanakah
ekspresi cinta yang islami?
Berikut uraian dari M. Quraish
Shihab, Perempuan (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hlm. 87,
91-94:
Boleh jadi, ada orang yang malu
bila bercinta sehingga
menyembunyikan cintanya
kecuali kepada kekasih. Ini
bukanlah pada tempatnya, tidak
juga dianjurkan agama. Silakan
bercinta dan luapkanlah cinta
kepada kekasih selama tidak
melanggar agama dan norma
budaya.
Cinta [pada] masa lalu adalah
emosi yang meluap-luap, tetapi
penuh kesucian dan
kehormatan. Karena itu,
betapapun hangatnya cinta,
kehormatan selalu saja
mengarahkan cinta ke arah yang
wajar karena kehormatan lebih
kuat daripada cinta. Ini pulalah
yang menjadikan para pencinta
saling menjaga kehormatannya
dan mengindahkan nilai-nilai
budaya yang berlaku. Ketika
itulah dikenal cinta demi cinta
dan pengorbanan demi cinta.
Perempuan dengan cinta seperti
ini, tidak dipandang hanya dari
sisi kecantikan lahiriahnya, tetapi
lebih-lebih kepada kecantikan
jiwanya. Ini pulalah yang
menjadikan cinta pada masa lalu
bertahan sangat lama –kalau
enggan berkata langgeng– dan
cinta seperti itulah yang
dikehendaki agama, yakni
memandang lawan jenis
sebagai manusia dwi-dimensi –
ruh dan jasad– yang
menyandang keindahan ruhani
dan jasmani.
Para pakar mengingatkan
perbedaan antara cinta dan
syahwat. Cinta adalah
kecenderungan hati yang
mendalam terhadap sifat-sifat
lahir dan batin kekasih,
sedangkan syahwat hanyalah
dorongan nafsu kepada sifa-sifat
lahiriah kekasih, yakni kepada
jasa saja. Karena itu, mestinya
tidak ada cinta dari pandangan
pertama karena pandangan
pertama belum dapat mengantar
kepada pengetahuan apalagi
kekaguman kepada sifat-sifat
batiniah kekasih. Pandangan
pertama, jika dinamai cinta,
penamaan cinta itu hanyalah
karena dia dapat menghasilkan
cinta jika si pemandang
menjadikannya tangga yang dia
lalui guna menggapai cinta.
Cinta menuntut kesetiaan.
Kesetiaan itu menuntut pencinta
menepati janji-janjinya,
memelihara kekasihnya serta
nama baiknya, baik di hadapan
maupun di belakangnya,
menjauhkan segala yang buruk
dan yang mengeruhkan jiwanya,
membantunya memperbaiki
penampilan dan aktivitasnya,
menutupi kekurangannya, serta
memaafkan kesalahannya. Yang
dicintai pun harus demikian, jika
ia telah menyambut cinta yang
ditawarkan. Namun, jika ia
menolak, moral menuntutnya
untuk tidak berpura-pura
mencintai si pencinta, apalagi
mempermalukannya dengan
membeberkan kepada siapa saja
kekaguman si pencinta itu.
Cinta adalah pohon yang
tumbuh subur di dalam hati.
Akarnya adalah kerendahan hati
kepada kekasih, batangnya
adalah pengenalan kepadanya,
dahannya adalah rasa takut
kepada Tuhan dan kepada
makhluk –jangan sampai ada
yang menodainya– dedaunannya
adalah rasa malu –malu
mempermalukan dan
dipermalukan– buahnya adalah
kesatuan hati yang
melahirkan kerja sama,
sedangkan air yang
menyiraminya adalah mengingat
dan menyebut-nyebut namanya.
Demikian yang ditulis sementara
orang.
Cinta mengundang dan
mendorong pencinta untuk
melakukan aneka aktivitas
terpuji, seperti keberanian,
kedermawanan, pengorbanan,
dan sebagainya. Cinta
melahirkan gerak positif.
Dengan demikian, ia adalah
kehidupan dan kebahagiaan.
Karena itu, sungguh tepat
ungkapan yang menyatakan:
“Jika Anda tidak mencinta dan
tidak mengetahui apa cinta,
maka jadilah batu karang yang
kukuh kering kerontang.“
Inilah yang mengundang para
pemikir dan ulama
membicarakan cinta dan
membahasnya, bahkan itulah
yang menjadikan mereka
bercinta. Karena itu pula Anda
tidak perlu heran menemukan
ulama yang dituduh kaku atau
sangat ketat dalam pandangan
agama, justru berbicara dengan
sangat indah tentang cinta,
bahkan larut dalam cinta
karena cinta seperti itulah yang
dikehendaki agama dan moral.
Dikutip dari Tulisan
M Shodiq Mustika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar